Laporkan Penyalahgunaan

Tags

Recent Posts

Recent Comments

Nature

Facebook

Popular Posts

Hantu Air

Demoniac clouds, up-pil’d in chasmy reach
Of soundless heav’n, smother’d the brooding night; 
Nor came the wonted whisp’rings of the swamp, 
Nor voice of autumn wind along the moor, 
Nor mutter’d noises of th’ insomnious grove
Whose black recesses never saw the sun.
Within that grove a hideous hollow lies,
Half bare of trees; a pool in centre lurks
That none dares sound; a tarn of murky face
(Tho’ naught can prove its hue, since light of day,
Affrighted, shuns the forest-shadow’d banks).
Hard by, a yawning hillside grotto breathes,
From deeps unvisited, a dull, dank air
That sears the leaves on certain stunted trees
Which stand about, clawing the spectral gloom
With evil boughs.

— Sajak The Poe-et’s Nightmare oleh H. P. Lovecraft


Aku pikir hidupku seharusnya tidak berantakan. Aku masih muda, cukup mapan untuk pria seusiaku. Di usia 27 tahun aku telah diberkati istri yang cantik yang melahirkan satu malaikat kecil. Ia bermata bening dan punya senyum menawan yang sukar dilupakan persis wajah ibunya. Ah, Dira, istriku itu adalah wanita yang pernah kukejar di kampus di tahun pertama aku berkuliah. Namun dahulu ia tak pernah menyambut perasaanku, dan aku cukup maklum kala itu sebab aku masih amat susah dan kumuh. Kemudian takdir bekerja mempersatukan kami. Aku lulus setahun lebih awal darinya dan bekerja di sebuah perusahaan pengolahan kayu. Di kantor itulah kami saling mengenal satu sama lain. Menjalin hubungan dekat. Dan hanya butuh dua tahun bagi kami buat memutuskan menikah. 

          Foto oleh Manuel Meurisse di Unsplash

Aku tidak mengarang betapa singkatnya awal-mula pernikahan kami. Istriku bukanlah orang yang bisa tahan menunggu dan aku pun gampang mengambil keputusan tanpa perlu melibatkan persetujuan keluargaku. Mengenai keluargaku, mereka orang yang kolot. Kekolotan ini sedemikian wajar karena mereka sejak lahir dan bernapas berada dalam perangkap ketololan bernama dusun. Di desa yang dialiri sungai itulah nenek moyangku berkembang biak seperti jamur yang menaburkan sporanya ke setiap tanah-tanah kosong tak berpenghuni. Di zaman orang-orang sudah mengemudi dengan mengebut di jalanan menuju ke kantor atau pagi-pagi menunggu antrian masuk pabrik, mereka berangkat mencangkul huma atau justru berenang-renang di air sungai keruh sewarna tanah. Memeriksa pukat dan perangkap ikan. Hidup yang membosankan dan purba!

Aku ingat, Bapak tak suka begitu mendengar kabar dariku kalau aku bakal menikahi Dira. Bagi Bapak, seorang lelaki Desa Kisau haruslah menikahi gadis Kisau pula. Itu petuah yang telah dijunjung mereka secara turun-temurun. Ibu tak banyak bicara selain membenarkan segala pitutur suaminya. Seandainya suaminya mengatakan kalau ia ingin menguburku hidup-hidup, Ibu tak segan mengiyakan dan mengambilkan segera sekop dan cangkul. Dia tak punya suara pribadi di rumah kami. Tetapi aku tak mau menjadi Ibu. Aku pun tak peduli mereka setuju atau tidak. Aku tetap berangkat tanpa restu mereka. Lagi pula, aku datang ingin memberitahu saja bukan meminta persetujuan dari mereka. 

"Jangan pergi, Do. Semua yang dilakukan terburu-buru dan mengabaikan nasihat orang tuamu akan mendatangkan petaka," kata Bi Minasih menceramahiku ketika aku mengepak pakaianku di kamar. Dia adik perempuan Bapak yang tinggal serumah dengan kami. Aku sudah mendengar sejarah hidupnya. Ia melajang sampai sekarang karena terlalu diatur oleh Kakek semasa masih hidup. Meskipun aku tak suka dengan ucapan Bi Mina yang seolah mengutuk, aku menutup mulutku dan membiarkan ia bicara sesukanya. Hari itu dalam pikiranku, ialah yang pantas dikasihani sebab dia tak mengerti bagaimana menjadi manusia bebas yang berhak mengejar cintanya sendiri.

Dira anak kedelapan dari seorang konglomerat. Ibunya adalah istri ketiga yang paling muda di antara mereka. Kurasa karena istri-istrinya yang lain tidak mampu memberikan anak perempuan, maka ayah mertuaku mengambil sepupunya sendiri sebagai istri. Ibu Dira, dia wanita sederhana. Dan karena sikap sederhananya itu aku tak mengira sama sekali kalau Dira adalah putri satu-satunya dari orang terpandang. Berkat dibantu restu dan kemurahan hatinyalah aku dan Dira bisa melangsungkan pernikahan. Karena bila mengingat ucapan ayah mertua lima tahun silam, aku nyaris mengurungkan niatku detik itu juga. 

"Aku tak punya alasan memercayaimu. Kau bahkan sanggup melangkahi ucapan orang tuamu," komentar ayah mertua sebelum Ibu Dira membujuknya. 

Kau pasti berpikir setelah membaca sampai sini mengira rumah tanggaku dengan Dira berjalan harmonis. Tentu saja itu awalnya benar. Aku tak pernah bertengkar dengan Dira sama sekali. Dira masih sama gadis bermata bening yang memikatku hanya dengan senyumnya. Dan aku masih sama, Edo yang berpendirian keras dan menyayangi istriku dengan tulus. 

Tetapi perasaanku berubah jauh sejak kami diminta meninggalkan rumah mertua. Ayah Dira yang bermata serigala itu bilang ia memiliki rencana yang lebih baik, tapi sebenarnya aku tahu dia bermaksud licik. Ia menyuruh kami agar menetap di rumah kosong milik Kakek Dira di desa. Rumah tua itu cukup luas baik pekarangan maupun ruangan di dalamnya. Namun kesan tua dan angker langsung menyambut kami tatkala kami tiba di depan gerbang bangunan itu. Aku masih terngiang bagaimana bunyi derit pintu pagar dibuka karena engselnya berkarat dan tebalnya tumpukan dedaunan kering di bawah kaki kami ketika pertama kali menginjakkan kaki di sana. Kendati Dira bersikap biasa (karena dia memang bukan wanita manja) menghadapi pemandangan bagaikan mimpi buruk itu, aku tetap merasa ini seperti penghinaan dari ayah mertuaku. Aku tahu ia mengusir kami secara halus. Sejak itu aku tahu bahwa ayah Dira tak pernah merestui pernikahan kami dan semua yang dilakukannya selama ini barangkali hanya sandiwara menutupi kebenciannya kepadaku di hadapan istri dan anaknya. 

 "Apa ini yang ayahmu berikan?" kataku sinis pada Dira. "Tampaknya ayahmu sangat penyayang."

"Ini harta tak ternilai di keluarga kami. Tidak ternilai," balasnya terdengar bangga. Kukira ia akan tersinggung dan menyelamatkan harga dirinya dari ejekanku. Jawaban macam apa itu? Ia menganggap rumah bertembok kusam dan menjijikkan ini sebagai harta berharga bagi keluarganya? Bila benar begitu, kenapa tidak diambil saja oleh tujuh saudara keparatnya itu. Mengapa harus kita yang dilemparkan ke tempat menyebalkan ini? Bodoh sekali! Aku tak mengira Dira sebodoh ini. 

Aku sudah dengar kalau tujuh saudara Dira mendapatkan warisan yang fantastis. Roli, yang paling tua, diberikan jabatan tertinggi di perusahaan konstruksi bapaknya dan lahan perkebunan sawit nan luas di daerah Riau. Tomo, yang paling bungsu, ia dibelikan rumah di kawasan elit di daerah X dan jangan tanya fasilitas mewah diberikan ayah mertua. Saudara Dira yang lain macam-macam dimanjakan kemewahan lain. Bahkan Dori, yang sehari pun tak pernah pulang menemui orang tuanya itu mendapat setengah saham dari perusahaan fiberboard di tempatku yang hanya menjabat sebagai pengawas lapangan. 

Sementara Dira? Ia diberikan rumah reyot yang seperti mayat hidup ini. Melihat pintu kayu yang buruk itu saja aku langsung terpikir ada ribuan iblis menghuninya sebelum kami. Para iblis itu sudah beranak-pinak, dan cucu termuda mereka mungkin seusia kami. Kelak aku dan Dira akan kesulitan membedakan apakah iblis atau pasangan kami yang asli sedang berbicara di dapur dan bercinta di kasur. Biarpun Dira tidak merasa tersinggung dengan pemberian ayahnya ini, aku pribadi sangat merasa sakit hati dan benci atas penghinaan yang dilakukan serigala keji itu. Aku tahu ia tengah menunjukkan kekuatannya di hadapanku, bahwa Dira tanpa ayahnya bukanlah apa-apa. Serigala memang pandai mengenakan topeng.

"Bagaimana kalau kita mengekos saja?" ajakku sambil meremas tangan istriku. Aku yakin Dira waktu itu tak akan betah tinggal di tempat suram dan mengerikan ini. Sebenarnya ini bukanlah rumah. Ini perangkap milik orang tua jahat yang ingin menyekap anaknya agar patuh. Seandainya di zaman ini memungkinkan kejahatan semacam itu terjadi terang-terangan, aku yakin Ayah Dira tak segan mendirikan menara tinggi dan mengurung Dira sampai rambutnya panjang beruban tergerai menantikan lelaki yang bersedia memanjat dan membebaskannya. Lalu aku yang demikian tulus mencintai Dira tanpa putus asa merayapi menara seperti pemanjat tebing yang ingin menaklukkan bukit-bukit menjulang. Kubayangkan lelaki jahat itu lalu memotong rambut putrinya tiba-tiba, membuatku jatuh terempas dengan tulang retak dan patah. 

"Aku tahu perasaanmu, Yang. Tapi bersabarlah. Ayah pasti punya alasan menyuruh kita kemari."

Aku mendesah. Baru kali ini aku menyerah membujuk Dira. Anak perempuan terkadang buta kalau sudah terlalu mencintai ayahnya. Tak seperti diriku yang jernih dalam menilai orang tuaku. Aku cepat sadar jika orang tuaku berniat memanfaatkanku sebagai salinan diri mereka. Di balik seraut wajah teduh Bapak dan polosnya wajah ibuku, aku tahu mereka menyimpan semangat untuk mengendalikanku layaknya boneka mereka. Mereka ingin membuatku patuh dan tak punya kemauan lain selain mengabdi sampai mati kepada mereka, padahal aku tak berutang apa-pun. Kelahiranku tak pernah kuminta, dan keinginan mereka memiliki anak mungkin bukanlah benar-benar suatu keinginan yang direncanakan, sebab aku lahir sebagai anak keempat dari lima bersaudara. Adik laki-lakiku tidak mendapat kasih yang adil di rumah karena Bapak sering menyebutnya sebagai 'beban' dan penambah tanggungan makan'. Asal kalian tahu, sebelum adikku lahir, akulah yang sering mendengar makian dan cemoohan itu. Sejak itu aku sudah sadar kalau ketidakadilan memang sudah lama dirawat di rumah kami. 

Namun aku cukup beruntung. Orang tuaku terlalu miskin untuk mewariskan kekayaan pada anak-anaknya. Abang tertuaku hanya dijanjikan kebun karet tua yang kurasa tak mungkin menghasilkan lagi getah. Yang nomor dua akan diberikan rumah panggung yang kupikir sedikit angin puyuh saja meniupnya pasti akan roboh. Dan abang nomor tiga, dia dipasung di bawah rumah panggung yang bakal diwariskan itu lantaran kegilaannya menyakiti orang. Maka tersisa hanya aku dan adik laki-lakikulah harapan mereka, aku sendirian yang tamat sarjana dan berhasil mereka sekolahkan. Tapi aku tidak ada niat akan kembali ke rumah sialan itu dan menyusul abang nomor tiga dipasung. Lihat saja dia gila sebab terlalu ditekan dan didesak harapan-harapan Bapak yang tak mampu ditanggungnya. Anak penurut selalu bernasib sial. 

"Kau jangan tinggalkan hantu air," kata abangku itu lirih dalam gudang gelap ketika aku menghampirinya terakhir kali sebelum meninggalkan rumah lima tahun silam. Dalam ketidakwarasannya ia masih ingat guyonannya padaku semasa ia belum sinting. Hantu air yang ia maksud sebenarnya Rika. Anak tetangga kami yang mati dengan cara menceburkan diri ke sungai deras usai ketahuan hamil. 

"Kecuali kau setuju kita pulang ke rumah orang tuamu. Sampai hari ini aku belum mengenal mereka," kata Dira membalik ucapanku. Dira lihai membolak-balik situasi sehingga aku tak berdaya untuk membantah dirinya lagi. Maka aku mengikuti kemauan Dira bertahan tinggal di rumah buruk rupa itu. 

Jika bagian luar bangunan ini kusebut mayat hidup, maka di dalamnya bolehlah dianggap kamar mayat. Kesunyian mencekam di antara perabotan dan hiasan antik berdebu. Foto-foto kusam hitam putih berbingkai kayu. Ada satu lukisan yang aku tak suka dipajang di dinding ruang tamu. Lukisan itu memperlihatkan sosok dengan pakaian serba hitam berdiri menggendong bayi telanjang, di sekelilingnya ada lima anjing besar yang tampak menyalak. Aku merinding menatap lukisan itu karena memberikan kesan jahat dan mengancam. Anjing-anjing itu bagaikan makhluk buas yang lepas dari neraka terdalam dan sosok itu adalah malaikat maut yang memberikan makanan berupa bayi mungil yang tertawa di gendongannya. 

"Sayang, aku rasa lukisan dinding itu tak bagus lagi dipajang di sana."

"Lukisan itu karya Kakek. Kau mau tahu cerita di baliknya?" tanya Dira seolah aku tertarik dengan lukisan itu. Aku ingin mengatakan kalau sosok hitam itu ayah mertua yang sedang membuang ia ke jurang kemiskinan. Tapi aku menahan mulutku meluapkan olok-olok itu. 

"Lukisan ini dibuat Kakek ketika zaman paceklik melanda. Kata Ayah, anjing itu menggambarkan situasi kelaparan. Bayi yang digendong itu adalah gambaran Ayah. Kakek pernah ketakutan akan keselamatan dan masa depan Ayah saat itu." 

Namun biar demikian, kakeknya masih sempat-sempatnya melukis. Itu menjadi bukti jika Kakek Dira sebenarnya tak terdampak kemiskinan secara langsung. Dia membuat omong kosong dan mendramatisir hidupnya sendiri. Entah untuk tujuan apa, mungkin berpura-pura hidup susah adalah trend pada masanya. 

"Sekarang ayahmu sudah jaya. Lukisan ini lebih bagus kita kirimkan ke Ayah," usulku. Jika benar maksud lukisan itu demikian, aku ingin ayah mertua merasa tahu diri bahwa ia hampir mati di masa kecil karena bencana kelaparan. Jadi untuk apa dia menjerumuskan putrinya ke lubang yang sama hanya demi memuaskan bencinya kepadaku. 

Dira menolak ideku menyingkirkan barang-barang kuno dan sisa perabotan kakeknya itu. Dia berdalih, "Kita sementara tinggal di sini. Jadi jangan risaukan barang-barang itu. Ayah punya alasan membiarkan semuanya tetap di situ."

Rumah ini memiliki ukuran yang cukup luas untuk dihuni dua orang. Ada tiga kamar dengan ranjang yang masih kokoh, sepertinya memang belum lama diganti. Dapur yang diisi meja makan dengan banyak kursi. Kamar mandinya cukup mengerikan karena terletak di luar rumah. Sementara sumur entah kenapa berada di bawah atap yang disekat tembok di dapur. Setiap kali melihat keberadaan sumur itu aku jadi teringat film horor di mana seorang babu tua meloncat bunuh diri setelah mendengar panggilan-panggilan gaib wanita dari dalam sumur. 

Mulanya aku berusaha betah tinggal di sana. Dua bulan pertama kami sibuk dengan urusan renovasi luar dan memperbaiki tata letak barang agar nyaman dihuni. Dira menolak usulku memindahkan semua pajangan dan foto di dinding itu karena meski dia tak pernah bertemu dengan mereka semasa hidup, Dira percaya arwah-arwah itu akan senang jika pulang melihat foto-foto mereka tetap dibiarkan terpaku di dinding. Pemikiran yang gila. Kenapa pula kita harus membiarkan arwah atau setan itu pulang demi menengok fotonya? Orang mati, menurut pemikiranku, tak sepantasnya mengusik urusan orang hidup. Ketika seseorang mati, putuslah urusan di dunia ini. 

"Namun Ayah bilang tak baik memutuskan kaitan dengan orang yang sudah pergi. Bagaimanapun, mereka pernah hidup dan memberikan kehidupan di dunia ini."

"Ayah, Ayah, dan Ayah. Kau selalu memuja ayahmu," sahutku sebal. "Dia sempurna sekali sampai-sampai kau tak pernah mau menerima usulku." 

"Jangan salah paham, Sayang. Aku tak bermaksud membuatmu kesal. Tapi dalam hal ini Ayah ..."

"Terserah kau saja!" sergahku keras. Aku yang tadinya tengah mengelap foto kulemparkan begitu saja ke dinding. Dira terlonjak mendengar pigura itu pecah membentur tembok lalu kacanya berkecai-kecai di lantai. Ia menangis. Aku tidak tahu mengapa mendengar nama mertua disebut darahku serasa mendidih. Panas. Segala perasaan kacau-balau menguasaiku. Ketakutan yang selama ini menggumpal dalam dadaku akan ucapan keluargaku yang mewanti-wanti hubungan kami, kini seolah benar-benar meledak. Aku meledak dalam amarah kebencianku pada serigala yang menyengsarakan kami. Namun aku yang merasa dikuasai emosiku langsung menyesal detik itu juga. Kupeluk Dira dan meminta maaf atas ketidakbijaksanaanku. Masalah kami selesai. Dira mengerti ketidakberdayaanku. 

Tetapi, selanjutnya kau tahu, siapa mengira kalau ledakan amarah itu hanya umpama erupsi kecil. Setelahnya, aku makin membabi-buta, sulit kukendalikan. Tak mampu aku memahami diriku lagi. Apa kemauanku yang sebenarnya. Luapan kemarahan, kekesalan, dan kekecewaan yang kurasakan seperti semua itu bermuara pada satu orang. Bila aku melihat Dira, entah mengapa aku merasa melihat samar-samar wajah serigala menyeringai jahat di depanku. Wajah yang mengejek dan menertawakan kesengsaraan yang kuderita. Tapi perasaan ini bukan tidak beralasan. Kau tahu, belum lama sejak aku pindah ke rumah menjijikkan ini, aku mendapatkan pesan singkat dari serigala laknat itu:

Bersyukurlah aku tidak membunuhmu. Jangan main-main dengan putriku.

Semakin aku mengetahui kebenarannya, semakin aku memendam kesumat yang berbongkah-bongkah. Seandainya aku memiliki kuasa lebih, aku ingin mengenyahkan ia dari kehidupan kami. Tetapi ia kian lama kian merasuki kehidupanku dan Dira. Setiap minggu, ia bersandiwara mengunjungi kami seakan ia mertua yang baik di mata istriku. Dikatakannya hal-hal baik tentangku, dipuji-pujinya aku, namun diselipkannya sindiran samar-samar agar aku yang mendengarkanya segera mengerti bahwa semua itu tipu daya penuh dusta. 

"Lagi pula, ia tak punya siapa-siapa selain kau, Dira. Jadi kau harus bersikap lembut pada suamimu. Jangan buat dia kesepian," ucap serigala dalam senyum palsunya. Ia mengira hidupku tinggal sebatang kara. 

Ia belum tahu jika aku sudah pernah pulang beberapa kali menemui orang tuaku. Bapak rupanya sedang sakit di dusun, jadi ia tak sekeras kepala seperti dirinya dulu. Aku berbohong kepadanya bahwa selama beberapa tahun aku menghilang untuk menenangkan diri. Keluargaku percaya saja dan mereka tak ada yang berusaha menanyakan ceritaku lebih jauh.

Suatu hari saat aku menemui saudaraku di pasungannya aku memikirkan ide besar membalaskan dendamku pada ayah mertua. Aku tahu ideku belum tentu berhasil, tapi kupikir tak ada salahnya aku mencoba. Saat aku tengah menikmati pikiranku memikirkan ide gila itu, saudaraku yang sinting menatap wajahku lekat-lekat. Mulutnya bergerak menggumamkan sesuatu: "Hantu air tidak sepakat! Hantu air tidak berkenan!" Aku menyiramkan segelas air ke muka saudaraku yang kumal itu agar dia tak mengamuk. 

"Dira pernah bilang, katanya Ayah jago sekali memancing? Aku hampir tidak percaya," kataku sambil tertawa kecil. Orang kaya tak pernah mau kalah soal ego. 

"Dira benar. Ayah memang senang memancing di kolam," balas ibu Dira membetulkan. "Kau suka juga memancing Edo?"

"Mungkin kalau di kolam tidak, Bu. Ibu tahu kalau aku tinggal di desa. Jadi kami lebih sering memancing di sungai atau danau."

"Kau salah! Aku bisa memancing di mana saja," sahut ayah mertua terdengar tak terima jawaban istrinya. Egonya terlukai. Bagus sekali! Satu tikus masuk perangkapku.

"Oh ya? Kalau begitu kau ajak menantumu pergi sekali-sekali memancing."

"Nah! Ide yang bagus," timpal Dira ikut-ikutan menyetujui. 

"Ayah mungkin sibuk. Lagi pula aku sudah lama tak memancing di sungai. Kemampuanku barangkali sudah menurun. Lebih baik kita memancing bersama di kolam saja. Bagaimana?" ucapku berpura-pura enggan.

"Seorang lelaki sejati tidak meragukan dirinya sendiri," ujar serigala yang egonya terluka. "Aku tidak sibuk pekan depan. Kau boleh ajak aku ke sungai. Kita buktikan siapa yang hasilnya lebih banyak."

Atau kita buktikan siapa yang akan tumbang ...

Untuk pertama kalinya aku merasa akan menang menghadapi musuhku. 

***

Satu pekan terasa sangat panjang. Aku masih waswas jika ia mendadak mengurungkan janjinya. Petang hari ternyata ia datang bersama iparku nomor empat. Dia tampaknya diminta menjaga si serigala kalau-kalau terjadi hal buruk menimpanya nanti. Sudah kuduga, mana mungkin serigala berani pergi denganku berdua saja. 

"Kau sudah tahu spot yang cocok?" tanya kakak iparku begitu kami sampai di desa kelahiranku. Berbeda dengan ayahnya, pria ini menyerupai keledai jinak. Tubuhnya jangkung dan jalannya kelihatan agak membungkuk seperti orang yang enggan hidup. Dialah yang kudengar paling kurang dibanggakan di keluarga mereka.

"Ikuti saja aku," ucapku. Ayah mertua tak memperlihatkan gelagat ingin bicara atau membantah. Raut wajahnya tidak bahagia. Bila ia mau bicara, ia hanya akan bicara pada putranya dan putranyalah yang akan meneruskan kepadaku. 

Kami berpencar setelah sampai di spot yang dituju. Mata ayah mertua tampak menyala sekilas di kegelapan malam serupa binatang ganas yang kelaparan. Aku tahu kemarin dia terpaksa mengikutiku karena tak mau harga dirinya jatuh di hadapan anak istrinya. Malam itu, ia akan menyesal atas keputusan bodohnya itu. Dia tidak tahu bahwa orang kampung sepertiku jauh lebih cerdas daripada yang dia bayangkan. 

Sementara hari makin gulita, aku sama sekali tak memasang umpan pada kailku. Aku duduk sambil meneropong kegelapan membuntuti dua bintik cahaya di hilir yang berasal dari senter mertua dan iparku yang bergerak meniti tebing sungai. Aku menimbang-nimbang situasi dari jarak jauh. Kalau dua titik cahaya itu masih berada berdekatan, maka artinya mereka dalam posisi bersama. Tapi tak lama lagi mereka akan berpencar. Pemancing sejati tidak akan nyaman duduk berdua menunggu umpannya mendapat giliran. Kuamati satu cahaya berjalan sedikit menjauh. Menurut pandanganku itu sekitar sepuluh meter dari jaraknya semula. Dalam benakku, orang yang begitu rakus dalam mengejar hasil hanya mungkin mertuaku. Dan titik yang diam sudah barang tentu ipar keledai itu. 

Aku melepaskan sandalku dan berjingkat agar tak menimbulkan sekecil apa pun bunyi kresek daun atau ranting. Aku mengendap-endap bagaikan kucing hutan yang siap menerkam mangsa. Di bawah beringin besar, aku kemudian bersandar mengendalikan napas selagi memantau gerak-gerik lelaki menyebalkan itu. Bulan setengah menampakkan diri di langit sehingga mempermudahku mengamati serigala duduk di sana. Jangkrik begitu nyaring malam ini seakan ikut mendukung rencana besarku.  

Apakah kau pikir aku menyiksa lelaki tua itu? Mana mungkin. Aku bukan orang yang melakukan segala sesuatu dengan cara membosankan. Erangan dan rasa sakit yang ditimbulkan dari pukulan tidak ada apa-apanya selain mengotori tangan dan menambah risiko yang tak diharapkan. Aku justru ingin membuatnya menjadi terasa alamiah. Kematian alamiah artifisial tidak mengundang penasaran bagi siapa pun, tetapi mungkin tetap mengerikan bagi mereka yang mengalaminya. 

Kulihat pria itu tengah antusias mengangkat pancingnya yang berhasil menggaet target. Aku merinding melihat tawa jahatnya yang begitu bersemangat ingin mengalahkanku dalam pertarungan memancing sialan ini. Dia pria busuk hati. Ia pikir dunia hanya diisi orang-orang bodoh, miskin, dan naif yang mau-mau saja diolok-olok orang kaya yang culas dan tamak. Dia lupa dalam pertarungan rimba tidak kenal aturan dan moral. Siapa yang kuat dan licik maka dialah pemenangnya. Malam yang indah itu akan kuhadiahkan tropi kegagalan untuknya. Aku tak sabar mengirimnya ke neraka. 

Aku melemparkan batu ke sungai sehingga ia curiga mendengarnya. Pria tua itu selalu penuh rasa penasaran. Ia bangkit dan menerobos semak kayu demi memastikan tak ada orang lain mengganggu pekerjaannya. Dalam pada itu, aku kembali ke tempat ia duduk memancing. Aku hanya butuh waktu beberapa detik untuk menyuntikkan racun yang segera akan melemahkan syaraf-syarafnya sebelum mengirim ia benar-benar ke neraka. 

Dia kembali tak lama kemudian. Menyeka keringat di pelipis lalu mengambil botol minumnya. Aku menghitung berapa tegukan yang dia habiskan. Sebenarnya itu jumlah yang lebih dari cukup bagi racun itu untuk membuatnya jadi mayat. Dia tiba-tiba kelihatan tremor. Terduduk di tanah dengan menahan sakit di sekujur tubuhnya. Ketika ia mulai sesak seperti ikan yang terlempar ke darat, aku keluar dari persembunyianku. Mata serigalanya yang jahat tampak nanar dan menaruh kemurkaan tiada terkira melihat kedatanganku yang berlagak prihatin, tapi ia tak mampu berdiri. Tangan menjijikkannya terus menggapai-gapai ke arahku. Aku tak tahan ingin meludahi mukanya seperti yang selama ini kuinginkan, tapi bahkan liurku pun sayang kubuang hanya untuk serigala lemah ini. 

Lelaki macam kau berani-beraninya menghinaku ya, gumamku. Aku berjongkok di depannya. Betapa kebetulannya, pikirku. Tempat ini adalah tempat yang sama gadis celaka itu mati tenggelam. Dan di sanalah kalian akan sama-sama berenang-renang menuju jahanam. 

"Kau tahu, Ayah. Dahulu aku pernah menyukai gadis seumuran abangku. Tapi dia bilang aku jelek daripada saudaraku yang lain. Dia bilang tidak ada gadis baik-baik mau denganku. Aku sedih. Sedih sekali."

"Lalu aku meminta abang lelakiku untuk memacari si gadis. Abangku yang serakah menyetujui ide itu."

"Kau tahu Ayah, aku sudah menyusun rencananya dengan baik. Abangku selain serakah, ia bernafsu besar. Maka mudah bagiku membuat mereka bercinta dalam insiden yang kurencanakan dengan matang."

"Jadi aku menyebarkan rahasia kehamilan gadis itu. Tapi tak seorang pun tahu siapa ayah jabang bayinya."

"Permainanku kurang seru, Ayah. Abangku setiap hari tertekan memikirkan seandainya rahasia itu terbongkar. Sementara gadis jalang itu bimbang berharap abangku segera mengakuinya."

Aku tersenyum. "Kau ingin tahu kelanjutannya? Surat palsu. Tidak sulit buatku meniru tulisan abangku. Kubuat gadis itu datang ke tempat ini menunggu abangku yang pengecut. Begitu malam tiba, si gadis yang putus asa berniat meloncat ke aliran sungai. Tapi dia tampaknya penakut. "

"Dan bagian paling serunya. Aku muncul ke tempat itu, kukatakan bahwa abangku menitipkan pesan kalau ia sudah kabur dari desa. Ia tak mau menjadi ayah bagi bayi haram yang dikandungnya."

"Gadis malang, ia putus asa sekali. Ia menangis dan meraung-raung. Tolol! Kukatakan bahwa itu percuma saja. Itu tak mungkin mengubah keadaan. Selama ia masih hidup dunia akan membencinya. Jadi sebaiknya dia mati saja."

"Ba ... jing ...," Ayah mertua berusaha mengatakan sesuatu dalam suaranya yang tercekat dan hidungnya yang kembang kempis. Mulutnya mengeluarkan busa putih. Aku tersenyum lebar-lebar. Aku tak lagi berpura-pura prihatin sebab kasihan kalau di akhir hidupnya ia harus mati tanpa melihat kejujuran. Jadi aku tertawa memandangnya sekarat. Mata serigala itu terjegil. 

"Ayah, aku menang," bisikku riang. Setelah itu aku menendangnya sekeras tenaga hingga terjatuh ke dalam air. Begitu tubuhnya berdebum jatuh. Aku berlari meninggalkan tempat itu sebelum disadari oleh iparku. 

***

Tiga tahun setelah kemenangan besarku, aku diliputi ketakutan yang mencekam, sulit untuk kujelaskan. Aku dan Dira kerap bertengkar. Dalam perdebatan kami, Dira sering mengungkit-ungkit kematian ayahnya.  Ia meski tidak secara terang-terangan menyalahkanku, sering meneriakkan bahwa seandainya aku tak meninggalkan ayahnya, mungkin hari buruk itu tidak pernah terjadi. Dira bahkan memusuhi saudara tirinya si keledai yang dianggap lalai dalam menjaga ayahnya sendiri. Singkat cerita, hubungan kami lebih panas dari bara api. Setiap waktu masalah sekecil apa pun menimbulkan cekcok yang tak berujung. Tapi ketakutan tak serta-merta berasal dari pertengkaran kami saja, melainkan datang pula dari putriku dan abang lelakiku di di kampung.

Putriku yang baru berumur dua setengah tahun beberapa kali kulihat berbicara sendiri di sumur. Ia menunjuk ke lubang sumur. Menyebut-nyebut ada perempuan bermain di dalam sana. Gara-gara kejadian itu aku bersikeras pada istriku agar diizinkan menutup sumur permanen dengan semen agar putriku tak bisa melongok lagi ke dalamnya. Namun Dira menuduhku paranoid. Ia menolak keinginanku. Sementara abangku, aish, celakanya ia entah karena apa, mengamuk seperti babi liar. Bi Minah bercerita siang itu ia lepas dari kerangkeng lalu menyerang seisi rumah. Di dalam rumah ia menjerit ketakutan: "Hantu air marah! Hantu air marah! Edo! Celakalah!"

Aku ketakutan setengah mati. Hidupku jadi berantakan dibayang-bayangi perbuatanku. Aku sebenarnya tidak menyesali yang sudah kulakukan karena menurut keyakinanku semua tindakanku itu beralasan. Aku hanya takut seandainya rahasiaku terbuka maka aku kehilangan segala yang sudah susah-payah kuperjuangkan. Dira pasti membenciku seumur hidup lalu ucapan gadis banal itu terkabul bahwa tak ada perempuan yang bersedia mendampingiku. 

Kemarin polisi entah bagaimana tiba-tiba menemukan botol yang pernah digunakan mertuaku minum, padahal seingatku benda itu telah kulemparkan ke sungai dan mustahil polisi dapat melacaknya kembali. Tetapi secara aneh, benda itu ditemukan tergeletak di bawah timbunan daun saat polisi menyisir ulang lokasi kejadian. Semua ini atas permintaan istri kedua yang gerah atas tuduhan dilimpahkan kepada anaknya si keledai. Istri pertama menuduh kalau kakak iparku sengaja merencanakan pembunuhan agar bisa menguasai aset-aset ayah mertua. Dan yang paling membuatku ngeri ketika polisi menyebut-nyebut adanya sejumlah bukti baru di sekitar lokasi yang menegaskan kalau lelaki itu meninggal bukan sebab insiden tak disengaja, melainkan ia mati diracun. 

Aku menuliskan semua ini karena kupikir tak lama lagi rahasiaku akan terbongkar. Aku sudah mendengar kabar ditemukannya barang bukti baru yang katanya dapat mengarahkan polisi kepada pelaku. Cepat atau lambat berita itu bakal sampai ke telinga Dira. Ia akan mengenali cincin perkawinan kami dan aku akan tertangkap basah lantaran yang kupakai hari ini hanyalah imitasi. Aku sempat mengira cincin itu jatuh di tempat lain, tapi sepertinya kali ini keberuntungan sedang tak berpihak kepadaku. Kalau sudah demikian nasibku, cuma satu hal keputusan yang bisa kuambil: aku akan membawa keluarga pergi. Pergi ke tempat yang tak mungkin dapat ditemukan. Malam ini juga.
Eki Saputra
Eki Saputra (EI), pemilik hobi menulis ini lahir di Prabumulih, Sumatera Selatan. Seorang penulis lepas, penikmat karya sastra dan film pendek. Tulisannya berfokus pada isu kemanusiaan, kesetaraan gender, dan lingkungan.

Related Posts

Posting Komentar

Popular