Laporkan Penyalahgunaan

Tags

Recent Posts

Recent Comments

Nature

Facebook

Popular Posts

Perubahan Salimah

Salimah tidak biasanya merungut sepulang dari kantor. Sewaktu aku jemput, ia bicara pendek sekali. "Tak apa, Kanda. Sedang lelah," begitu saja ucapnya saat aku coba mengorek informasi. Namun, sesampainya di rumah, bukannya langsung beristirahat, ia masih menyalakan laptopnya kembali. 

"Tadi Adinda bilang capek. Loh, kok, masih mau buka laptop?" ujarku menguji. Bukan apa-apa. Aku khawatir nanti ia jatuh sakit kalau menekan diri dengan pekerjaan terus-terusan.




Istriku menggigit bibir. Ia memandang wajahku seperti aku baru saja melakukan suatu kesalahan. Kuingat-ingat kalau bulan ini rasa-rasanya aku tidak melupakan tugas-tugasku. Bahkan sore ini, sesuai kesepakatan, aku yang menjemput putra kami pulang sekolah, membersihkan rumah, kecuali urusan memasak, tapi aku sudah memesan lauk lewat layanan ojek antar. 

"Kanda, boleh aku tanya sesuatu?" 

"Selagi bukan memilih warna atau nama-nama tanaman hias."

"Ini serius, Kanda."

"Aku juga sangat super serius. Ayo tanyakan saja!" 

Dan jangan buat aku bertanya-tanya penasaran. Ada apa denganmu hari ini?

"Tadi Adinda mendapatkan email soal ..."

"Pekerjaanmu?"

"Bagaimana Kanda bisa tahu?"

"Aku tahu. Semua yang penting bagi istriku, penting juga buatku," aku menggombal. Padahal sebenarnya karena akun surel Salimah belum log out dari laptopku. Aku diam-diam sudah membaca pemberitahuan itu.

Salimah berkaca-kaca. "Jadi ..."

"Seminggu ya? Tidak apa-apa ikut saja workshop-nya. Aku tahu acara ini sangat berharga buatmu. Masalah Arga biar aku yang menjaganya. Nanti kalau aku kelimpungan, aku panggil Hera (adikku) buat bantu-bantu."

"Aku tahu Kanda bisa melakukannya. Tapi yang membuatku tidak tenang kalau-kalau Bunda datang ke rumah dan mengatakan yang buruk-buruk tentang Kanda."

Aku menggenggam tangan Salimah. "Lalu kenapa? Biarkan saja Bunda mengomel dan sibuk dengan keruwetan di kepalanya sendiri. Kita tidak bisa mengendalikan sesuatu di luar kita. Kau ingat kan, bunyi nasihat bukumu yang suka kau ulang-ulang tiap kali sedang kesal."

Mendengar itu Salimah jadi tersenyum. Yang kami maksud adalah buku tentang stoik kesayangannya itu. Aku tidak pernah sekali pun membacanya. Tapi Salimah biasa mendongengiku dengan petuah bajik dari si buku.

"Saat menikahimu, aku tahu bahwa aku akan membawa wanita karier bersamaku. Aku tahu impianmu. Aku tahu cita-citamu. Bukan karena menjadi istri dan ibu, kau jadi harus melupakan dirimu. Sama sepertiku, kau juga berhak mementingkan nasibmu sendiri. Tidak ada pengorbanan yang berat sebelah. Kita mesti menanggungnya bersama-sama dalam urusan apa saja."

"Terkadang aku takut menjadi istri yang kurang baik buatmu, ibu yang kurang baik bagi putra kita."

"Demikian juga aku, Dinda. Aku lebih takut kalau aku jadi ayah yang mengecewakan buat putra kita. Tapi setelah melihat Arga hari ini, aku bangga padanya. Meski baru awal, kita telah berhasil mendidiknya menjadi anak lelaki yang hebat."

"Ada peristiwa yang aku belum tahu?"

Aku mengulang cerita siang tadi. Arga bertanya bahwa dia ingin menyumbangkan sebagian kecil tabungannya untuk Ibu sahabatnya yang opname di rumah sakit. Anak kelas satu SD sudah sangat perhatian pada temannya sendiri. Aku tanya, apakah itu inisiatif pribadinya atau memang permintaan wali kelas? Yang mengharukanku ternyata itu kemauannya sendiri sebab dia kasihan melihat teman sekelasnya itu belakangan jadi murung dan menyendiri di sekolah. 

"Beberapa tahun lagi ia akan melampaui kita dalam banyak hal, Kanda. Nanti lama-lama kitalah yang belajar dari dia, bukan lagi mengajarinya."

Tahu-tahu yang sedang dibahas mengetuk pintu kamar kami. "Masuk saja, Sayang," ucap Salimah, "Tidak dikunci."

Arga datang membawa kertas di tangannya. Kertas dengan gambar ibunya memegang benda kotak, sepertinya itu alat rekam suara, dan di sana aku menggunakan helm safety. Kami sedang mengelilingi seorang anak kecil.

"Bagus tidak, Ma?"

"Sangat bagus. Gambar apa ini kalau Mama boleh tahu?" 

Bola mata putraku langsung berbinar saat dipuji dan diberi kesempatan mempresentasikan hasil coret-coretnya. Aku yakin Salimah sudah tahu isi gambar itu, tapi kami membiasakan untuk tidak mengabaikan imajinasi anak kami. Hari ini dunia makin sulit menghargai suara anak-anak. Kebanyakan orang tua lebih senang menjadi pembicara yang baik daripada pendengar yang sabar. 

Aku ingat, bukan tanpa kriteria aku memilih Salimah sebagai pasanganku. Di antara perempuan-perempuan yang aku kenal, dialah yang paling sabar mendengarkanku. Dan, sewaktu dimintai pendapat, ia akan berterus terang dan berbicara dengan sudut pandangnya sendiri. Ia tidak berpura-pura membenarkan diriku agar aku terus menyukainya. 

Ia juga tak mudah menghakimi sesuatu. Mungkin karena ia punya pekerjaan di bidang yang memungkinannya untuk melihat segala sesuatu secara objektif, ia akan berupaya bersikap adil, bahkan berpikir mendalam sebelum mengutarakan pendapatnya. Berbeda denganku yang suka tergesa-gesa langsung menyimpulkan.

Jika ada tiang roboh menimpa seseorang. Aku tentu akan mengatakan salah pihak yang menegakkan tiang di tempat itu sehingga menimbulkan celaka bagi orang lain. Sedangkan Salimah akan sibuk mencari-cari alasan mengapa tiang itu ditaruh di sana? Apa alasan penegakkan tiang itu? Dan bagaimana tiang dapat roboh hingga jatuh ke atas kepala seseorang? Tentu saja yang kami bahas tidaklah tentang tiang dan kejatuhannya. Itu hanyalah pengandaian.

Aku sering merasa Salimah bukanlah sekadar istriku. Sebab definisi istri yang tertanam di kepala masyarakat kami selama ini adalah melayani dan tunduk pada perintah sang suami. Salimah melebihi bayanganku. Dia adalah guru, teman, rekan kerja, konsultan, pendukung, penggerak, dan pengawas buatku. Seandainya ia hanya memiliki kepatuhan dan terikat pada lisanku, aku mungkin akan menyerah lebih awal. 

Aku ingat, dahulu ketakutan terbesarku sebelum menikah adalah anggapan bahwa menjadi suami artinya harus menjadi raja dan inti dalam rumah tangga. Mendengar kata suami saja sudah membuatku bergidik, apalagi menjelma jadi raja. Aku bisa saja memimpin dan menjadi sekeras atau setangguh itu, tapi aku juga manusia yang lazim. Aku punya impian, keinginan, perasaan, masa lalu, dosa, dan kesalahan.

Sangat ngeri ... 

Sangat menakutkan bagiku membayangkan jika ada satu orang saja selalu berdiri di sampingku dan mengiyakan segala pendapatku. Ia tak mengatakan kesalahan, tak mengoreksiku, dan hanya bersikap mematuhi, terus-terusan mengikuti maunya diriku. Bagaimana kalau yang mengendalikannya justru insting liar dan nafsu jahat yang ada dalam diriku? Sebab aku manusia. Aku pun dapat tergelincir dan berlaku buruk. 

Aku tidak ingin menjadi yang duduk di puncak singgasana. Atau yang dianggap pantas untuk dikultuskan oleh keluarga kecilku.  Aku juga tak mau ditempatkan sebagai inti dan prioritas baik oleh istri atau anak-anakku. Aku ingin mereka memprioritaskan diri mereka terlebih dahulu, kemudian barulah memikirkanku dan orang lain di luar sana. 

Aku bukan hanya ingin dipandang sebagai ayah, tapi sebagai laki-laki, anak, dan manusia biasa. Kupikir akan lebih baik jika dalam keluarga, kami sama-sama saling mendampingi dan berjalan beriringan, daripada mengepalai dan memaksa agar semua orang mengekor pada langkahku yang mungkin lalai. 

Salimah tahu tentang kekuranganku. Tentang kecemasan berlebih yang pernah mengendalikanku sejak lama. Sehingga saat hari ia menerima lamaranku, ia berkata sembari meremas tanganku dengan lembut, "Di sini kau tidak sendiri. Aku akan sekuat dirimu, bahkan melampauimu agar kamu merasa tak terbebani. Kita akan menjalaninya sebagai pasangan tanpa hierarki."

Ia membuktikan ucapannya. Yang Salimah berikan padaku lebih dari cukup. Aku tak kehilangan impianku, tak mengabaikan kewajibanku, dan tetap merasa sebagai pribadi utuh sebelum menikah. Meski statusku telah berganti sebagai ayahnya Arga, aku masih memiliki identitasku sendiri. 

Maka hal yang sama pun harus kuberikan kepada Salimah. Dia tidak boleh kehilangan identitasnya, jiwanya, dan semangat hidupnya. Jika ia harus terpaksa meninggalkan kami sementara waktu demi urusan pekerjaannya, aku tetap wajib mendukungnya. 

Tapi sejak kedatangan Bunda seminggu yang lalu, sikap Salimah jadi berubah total. Terkadang aku merasa dia bukan Salimah yang aku kenal. Dia mudah gentar dan menyerah. Dia mengabaikan keinginannya dan terpaku pada cita-citanya menjadi "Ibu yang baik". 

Aku senang kalau menjadi ibu yang baik sekarang menjadi prioritasnya. Suami manakah yang tidak senang jika istrinya bisa menjadi madrasah terbaik bagi anak-anaknya? Tetapi, apakah menjadi ibu yang baik ia harus mengorbankan keinginannya? Impiannya? 

Aku merasa lebih tahu yang dibutuhkan Salimah dibandingkan Salimah sendiri. Aku mengingat segala kalimat yang pernah ia utarakan berulang-ulang kepadaku. Kau tahu, kan, jika seseorang mengulang-ulang hal yang sama, cerita yang sama, dan harapan yang sama, itu menandakan ia benar-benar menyukai akan hal itu. 

Dan kali ini dia menjadi lain. Aku merasa bahwa Salimah menjadi pemurung dan tidak bergairah seperti yang dulu aku kenal. Dia mungkin tersenyum, bahkan tertawa tergantung situasi yang ia alami di hadapan kami. Namun, bila ia sendirian atau menyepi ke dalam kamar, dia kembali lagi ke wujud aslinya. Aku tahu diam-diam dia menangis. Dia terlalu banyak berbohong dan kebohongan itu menyiksanya. 

Delapan hari kemudian, delapan hari sejak ia mengurungkan niatnya hadir dalam lokakarya jurnalistiknya di Bali, ia mengajakku dan Arga berkunjung ke rumah bibinya di Kota X. 

"Kanda, aku akan resign besok," katanya tiba-tiba saat kami baru saja sampai di depan pintu rumah bibinya. Aku ingin menginterogasinya, menanyai alasan di balik keputusannya sepihak itu. Dia bahkan tidak pernah mendiskusikan masalah ini sebelumnya. Aku pikir ketidakhadirannya dalam sanggar kerja seminggu yang lalu itu karena dia dilema memilih prioritasnya. Setelah itu, ia akan kembali hari-hari normal seperti biasanya. Namun, hari ini, kemerosotan pada dirinya mulai melangkah lebih jauh. Aku menjadi tidak tenang sekarang. 

"Apa maksud-" belum sempat aku menyelesaikan pertanyaanku Bibi Tina dan Paman Haryono sudah datang membukakan pintu. Dua orang yang sudah kuanggap sebagai mertuaku sendiri. Sebab Salimah sejak kecil diurus mereka lantaran orang tuanya bercerai dan masing-masing menikah lagi. 

"Nah, cucu Oma sudah datang. Ayo, sini, sini," sambut Bibi Tina. Ia langsung memapah Arga ke dalam. Aku masih memandangi Salimah lekat-lekat. Aku terperosok dalam ketidakmengertianku dan keterkejutanku mendengar keputusannya yang sungguh dadakan sekali.

Paman Haryono langsung menyadari keheningan di antara kami berdua. Tetapi beliau langsung menyapaku dan memelukku seakan akulah kerabat paling dekatnya. Dalam situasi demikian, yang dapat aku lakukan hanyalah bersikap seolah tak terjadi apa-apa. Aku membiarkan lelaki itu menggiringku masuk dan duduk mendengarkan keluhan-keluhannya dan bahasan preferensi pilihan politiknya yang tidak menarik minatku. Salimah sendiri mengekor Arga dan Bibi Tina ke dapur. Dia tidak berani menatap balik mataku yang terus saja mengamatinya dari jauh. 

"Kalian habis bertengkar?" tanya Paman Haryono  di tengah-tengah obrolannya yang seru tentang tokoh politik. 

"Tidak, Pa. Kami tidak bertengkar."

"Tapi kalian berbeda hari ini?" matanya sejurus menyelidiki isi kepalaku. Aku menunduk dalam kebimbangan yang sukar dijelaskan. Kenyataannya kami memang tidak bertengkar. Atau belum bertengkar. Pertengkaran terjadi di antara pasangan, jika salah satu di antara mereka saling berteriak atau marah karena ketidaksukaan akan suatu hal. Kami sudah punya alasan untuk bertengkar. Tetapi sepertinya Salimah sengaja merencanakan pertengkaran itu tidak pernah terjadi. Sekarang aku paham mengapa ia tiba-tiba mengajakku ke sini.

"Dalam rumah tangga pertengkaran adalah hal lumrah. Selagi tidak terus-terusan dan tak main fisik."

Kami pasangan yang tidak lumrah kalau benar demikian. Aku belum pernah sekali pun berteriak, memaki, mendebat, atau marah kepada Salimah. Salimah pun sama. Kami masing-masing mudah mengalah, mudah menerima, mudah berlapang dada. Karena sejak awal pacaran kami terbiasa saling menoleransi perbedaan, jadinya tak ada alasan untuk berkelahi pendapat. Kami juga bukan remaja atau dewasa yang kekanak-kanakan yang hanya karena perkara beda selera, beda kesenangan, maka menganggap itu jadi masalah besar. Ada hari aku mengalah, ada hari Salimah mengalah. Tidak ada hari dua-duanya bersikeras. Baik aku atau Salimah malu jika bersikap keras kepala kepada pasangan kami. Jangan-jangan kesalingan yang kami terapkan sebenarnya 'upaya saling menyenangkan' yang kelewat berlebihan, sehingga kami sendiri mengabaikan kesenangan kami pribadi. Kami melupakan pendapat dalam diri sendiri sebab terbiasa meromantisasi hubungan agar tampak selalu manis. 

"Pernikahan bukan gula. Tidak selalu manis. Kadang pahit, asam, asin, gurih, kadang hambar. Pertengkaran ibarat rasa asin dan pedas. Siapakah yang membenci dua hal ini dalam makanan? Perdebatan antara suami-istri itu membantu pasangan agar saling memahami kalau di antara kecocokkan pun, masih ada ketidakcocokkan. Dan perbedaan ini bukan untuk ditiadakan atau dipermasalahkan. Justru memunculkan kesadaran agar saling mengerti dan menerima perbedaan."

***

"Aku tidak setuju kau mengundurkan diri," kataku tanpa menatap wajah Salimah. Tanganku terus menggenggam setir. Tangan yang entah mengapa terasa gemetar dan sedingin es setelah aku menuangkan isi kepalaku.

"Tidak ingin kau berhenti," aku mengulangi kalimatku agar terdengar bahwa itu harapan bukan sebagai perintah yang mengekang.

"Yang Bunda katakan..." 

"Aku sudah pernah bilang padamu. Jangan dengarkan semua ucapan Bunda!"

"Tapi dia ibumu, Kanda. Yang dia katakan tidak salah. Orang tuamu pasti benar. Mereka yang benar selalu memikirkan nasib anak-anaknya."

"Tentang apa? Apa yang dia katakan sampai kau berpikir itu sangat benar?

Aku menghentikan laju mobilku di tepi jalan.

"Sekarang katakan dengan jelas maksudmu. Di sini hanya ada kita berdua. Tidak ada Arga. Kau bisa leluasa bicara. Katakan!"

"Bunda mencemaskan Arga dan kau. Dia takut jika apa yang menimpaku terjadi pada Arga juga. Dulu ibuku seorang wanita karier dan ayahku juga pekerja sibuk. Mereka mengabaikanku begitu lama, hingga aku tidak ingat kalau aku masih punya orang tua."

Aku tertawa meringis. Tawa yang membuatku nyaris menangis. "Kita bukan mereka. Kau bukan ibumu dan aku ... mana mungkin aku begitu?"

"Kita tak akan sadar sampai dunia melenakan kita. Hidup tidak bisa ditebak, Kanda. Aku wanita. Kau pria. Kau pasti punya hawa nafsu, begitu pula aku."

Aku menyandarkan punggungku ke jok. Mengurut kepalaku yang mendadak terasa pening. Ini di luar nalarku. Sangat di luar dugaanku. Ada apa dengan Salimah? Ini bukan Salimah yang aku kenal.

"Tapi kita punya otak, Adinda! Kita masih bisa berpikir membedakan mana yang benar dan tidak. Aku bukan hewan serendah itu! Kau juga tidak!" nada bicaraku berubah jadi meninggi. Untuk pertama kalinya aku sekesal ini pada Salimah. 

Salimah menangis. Runtuh juga air matanya. Air mata kejujuran. Aku ingin dengar isi hatinya yang sesungguhnya. Bukan kebohongan-kebohongan yang dia anggap benar dan sejati itu. Semua dinding-dinding kepalsuan itu harus dirobohkan. 

"Dengar, Kanda. Aku tak sama sekali ingin menyalahkan Bunda. Apa yang Bunda katakan sebenarnya yang aku takutkan juga sejak lama."

"Jadi kau percaya bahwa kau seburuk itu?"

"Tidak. Aku berusaha percaya kalau aku tak seburuk itu. Tapi aku tidak menampik perkataan Bunda. Arga kehilangan sosok ibu selama bertahun-tahun terakhir. Kita mungkin tidak sadar melewatkan hal-hal berharga baginya."

"Kita selalu merayakan ulang tahunnya. Kita juga datang di acara sekolahnya baru-baru ini. Kita membawanya ke tempat yang dia mau," aku membela diriku. "Kita tak melewatkan satu kebutuhan pun baginya."

"Tapi Kanda ingat saat Bunda ke rumah, Arga bahagia sekali sampai ia mengabaikan kita."

"Itu ... itu karena Bunda jarang berkunjung. Selama ini dia bersama aku, kau, dan Bik Desi."

"Lalu kenapa Arga demam dan kehilangan nafsu makan waktu Bik Desi memutuskan pulang kampung?"

"Dinda, kalau kau mencari-cari alasan atas keburukan yang tidak kau perbuat, kau akan menemukannya dengan mudah. Hentikan semua kebohongan ini. Aku tahu bukan ini yang ingin kau curahkan."

Salimah memalingkan wajahnya dariku. Memandang ke ruas jalan yang hening di sampingnya. Kami berhenti di tepi kebun sawit, tak jauh dari rumah Paman Haryono. Aku berpura-pura ingin mengajak Salimah pergi ke pasar demi merencanakan pertengkaran ini. 

"Aku tidak meminta izinmu untuk keputusan yang aku ambil. Itulah keputusanku," jawabnya sembari mengelap matanya. 

"Kalau begitu lakukanlah sesuka hatimu," balasku dingin. 

"Aku melakukan ini demi keluarga kita."

"Demi kau sendiri. Aku tak suka ide pengorbanan atau semacamnya. Kau cuma takut reputasimu dan nilai-nilaimu dipertanyakan oleh keluargaku. Kau melakukan itu karena kau ingin terlihat sebagai ibu yang normal di mata keluargaku. Dan kau lupa siapa yang kau nikahi. Kau lupa pada janjimu."

Salimah diam.

"Hari ini aku kecewa padamu. Aku merasa kau berubah. Kau sudah melupakan identitasmu. Kau bukan Salimahku. Kau cuma pasangan. Ya, pasangan. Aku mungkin hanya memiliki satu pasangan. Tapi aku tidak memiliki lagi Salimah yang dulu kuanggap hidupku. Salimah yang sekarang bukan Salimah. Dia salinan ibuku."

"Kanda, apa yang kau harapkan dariku?"

"Tidak ada. Aku tidak pernah mengharapkan apa pun darimu. Aku hanya ingin kau tidak memalsukan dirimu itu saja."

"Karena aku tidak bekerja, maka aku bukan Salimahmu lagi?"

Aku menggeleng. "Kau salah. Kau bekerja atau tidak, kau tetap Salimahku. Kau ingat-ingat kembali, pernahkah aku mengurusi pendapatanmu? Aku cukupi kebutuhan keluarga kita sendiri. " 

"Lalu apa yang kau anggap kurang dariku, Kanda?" ia terisak, "aku tidak mengerti."

"Aku tidak akan marah, kecewa, atau terluka kalau kau menginginkan sesuatu tanpa beban. Kau menginginkan itu atas dasar kesadaranmu. Tapi aku tak terima dengan sandiwara atau kebohongan yang kau lakukan di dalam rumah kita. Kau bukan saja membohongi kami, kau menipu dirimu sendiri. Aku mendengar setiap malam kau menangis. Kau pikir dengan menangis tanpa suara kau bisa menyembunyikan air matamu itu? Aku mendengarnya di lubuk hatiku yang paling dalam suara kesedihanmu, traumamu, dan dukamu."

Kugenggam tangan Salimah. Kemudian menciumnya. "Jadi jujurlah, Dinda. Bahkan kalau kau meminta meninggalkanku, aku bisa apa? Aku tak akan menggugat jika kau benar bahagia dengan itu. Tapi aku akan marah kalau kau berbuat sesuatu karena tekanan."

Salimah menunduk. "Aku ..."

"Katakan saja, Dinda."

Ia mengeluarkan sebuah amplop sobek samping dari dalam tasnya dan menyerahkannya padaku. Kusambut dengan ragu-ragu kertas yang ia sodorkan. Tertera nama dan logo rumah sakit swasta di bagian depan amplop. Detak jantungku menggema sedemikian hebatnya. 

"Beberapa minggu yang lalu aku pingsan di kantor. Teman-teman membawaku ke rumah sakit. Hasil tes menunjukkan kalau aku mengidap kanker serviks."

"Kenapa ... kenapa Dinda ... kau merahasiakan hal sebesar ini dariku?" kataku terbata lalu kupeluk tubuh mungil istriku. Aku merasa menjadi pria terburuk di dunia. Bagaimana bisa aku tidak tahu kalau istriku selama ini mengidap penyakit mematikan. Aku tidak sanggup menahan diri untuk tidak menangis. 

"Kau pasti sembuh, Dinda. Kau akan sembuh. Aku percaya itu. Aku akan berjuang sekuat tenagaku agar kita dapat melewati masa sulit ini," aku bicara lagi setelah lama kami terbenam dalam keheningan. 

"Berjanjilah padaku, Kanda."

"Aku berjanji."

"Bukan. Bukan berjanji tentang itu."

Aku mengangkat alis. Bingung dengan janji apa yang Salimah maksud.

"Berjanjilah untuk tetap hidup baik-baik saja tanpa aku. Berjanjilah untuk merahasiakan ini dari Arga. Usiaku tidak akan lama lagi."

"Kau pasti sembuh."

"Tidak, Kanda. Usiaku tidak banyak lagi. Kecil kemungkinan aku akan sembuh. Aku tahu. Aku sudah melihat bagaimana sahabatku meninggal karena penyakit ini."

"Tapi takdir manusia tidak sama, Dinda. Kau mungkin ditakdirkan sembuh."

"Bagaimana kalau tidak?"

"Jika tidak ..." air di pelupuk mataku kembali jatuh mengalir bersamaan derai hujan riuh menimpa kaca mobil, "Aku tak mungkin sanggup hidup dengan baik-baik saja. Aku mungkin bisa berpura-pura demi Arga. Tapi setiap hari aku akan merindukanmu, aku akan mencarimu dalam tidur dan bangunku, aku akan kehilangan arti hidupku. Berjanjilah jangan meninggalkanku."
Eki Saputra
Eki Saputra (EI), pemilik hobi menulis ini lahir di Prabumulih, Sumatera Selatan. Seorang penulis lepas, penikmat karya sastra dan film pendek. Tulisannya berfokus pada isu kemanusiaan, kesetaraan gender, dan lingkungan.

Related Posts

Posting Komentar

Popular