Laporkan Penyalahgunaan

Tags

Recent Posts

Recent Comments

Nature

Facebook

Popular Posts

Ketika Rumah Tangga yang Bahagia Hanya Mimpi

 

Ilustrasi pasangan menikah via pixabay.com

"Aku mulai merasa bahwa hidup itu hanya mengulang-ulang saja, bahwa tak ada sesuatu yang baru dalam diriku dan dalam dirinya,  dan bahwa kami balik kembali ke hal-hal yang lama." (Leo Tolstoy,  Rumah Tangga yang Bahagia, 1859)

Pada awal pernikahannya, Marya Alexandrovna diliputi perasaan gembira lantaran mendapatkan suami yang bijaksana dan mempesona yang tak lain karib ayahnya sendiri, dialah Sergei Mikhailich. Bagi Marya, lelaki dewasa itu telah mengembalikan kebahagiaaan kepadanya. Setelah sekian lama duka bercokol di hati gadis riang dan penyuka musik itu. Lagi pula, Sergei Mikhailich (36) memang benar cinta pertamanya.

Tiada secuil keraguan dalam hati gadis cantik yang masih belia itu. Di usianya yang baru tujuh belas tahun, ia memantapkan keinginan membangun rumah tangga yang bahagia bersama Sergei. Namun, tak disangka belum genap setahun pernikahan mereka berdua, Marya mulai dihantui rasa bosan. Sergei berusaha menghibur istrinya dengan membawa jalan-jalan keluar dari Desa Nikolskoye dan pergi menjelajahi beberapa kota di Rusia. Ia pun memperkenalkan Marya dengan masyarakat kelas atas di St. Petersburg. Maka di sinilah awal mula malapetaka keluarga kecil ini berasal. Hiruk-pikuk dunia luar telah berdampak timbulnya banyak keraguan di hati Maria, benarkah ia memang mencintai Sergei? Apakah Sergei telah merenggut kebebasannya?

Leo Tolstoy, sastrawan Rusia, berhasil meramu tema sederhana dan klise dalam novel ini--cinta beda usia--menjadi penuh riak-riak yang menggoyahkan hati pembaca. Rumah Tangga yang Bahagia disampaikan dalam narasi-dialog sederhana, lambat, dan secara apa adanya membuat siapa pun pasti terhanyut bila membaca tiap-tiap halamannya, terutama Leo begitu pandai menggambarkan suasana desa Nikolskoye yang tenang dengan tokoh-tokoh di dalamnya bergejolak. Selain itu, melalui sudut pandang Maria, ia juga mampu mengajak pembaca merasakan betapa jauhnya kehidupan si tokoh utama saat masih tinggal di dusun dan di kota; menggambarkan bagaimana pergaulan orang-orang kelas borjouis telah mempengaruhi pola pikir si tokoh utamanya.

Novel Rumah Tangga yang Bahagia (Judul aslinya Semeynoye Schast'ye (1859) diterjemahkan menjadi Family Happiness) adalah novel yang mencoba menggali ulang tentang makna pernikahan dan peran dalam relasi. Penulis mengambil sudut pandang orang pertama, lewat pikiran seorang tokoh wanita yang polos, muda, cerdas, dan memandang cinta dengan naif persis anak remaja pada umumnya. Gadis itu bersedia menikah dengan lelaki dewasa, yang tentu saja pengalaman hidupnya jauh lebih banyak daripada ia. Teramat sering makan asam garam kehidupan membuat Sergei pada awalnya lebih arif dan tenang dalam menanggapi perasaan Marya. Meskipun perasaan tumbuh dan bersemi di hatinya, tetapi sedari awal Sergei mewanti-wanti jikalau pernikahan akan merenggut kehidupan gadis muda itu. Ia terus berusaha memperlakukan Marya sebatas seorang adik. Tetapi Marya sudah terlanjur dilanda dorongan afeksinya. Ia berupaya meyakinkan Sergei bahwa ia siap membangun rumah tangga tanpa memedulikan perbedaan di antara mereka.

Tidak jauh berbeda dengan kehidupan pengantin baru pada umumnya, mempelai perempuan tinggal di rumah sang suami bersama seorang mertua dan para asisten rumah tangganya. Sayangnya, ini bukan drama televisi, yang biasanya ada mertua jahat yang kerap menyiksa menantu. Mertua Marya justru biasa saja dan memang tak ada kejahatan berarti yang dilakukan wanita itu. Kesalahannya justru ada pada sistem peran dalam relasi keluarga mereka yang diam-diam tak disukai oleh Marya.  

Penulis seolah ingin mengatakan bahwa Marya menikah atas dasar obsesi, rasa penasaran, dan mabuk cinta belaka. Ia melupakan jikakalau pernikahan (di masa itu) akan merenggut kebebasannya. 

Kebosanan dengan cepat mulai menghantui wanita itu tatkala ia merasa terjebak rutinitas dan aturan ketat yang kelewat sempurna di rumah mertuanya. Pandangan Marya merupakan kewajaran, mengingat usianya yang masih cukup muda dan belum tahu tentang hidup dalam relasi patriarki yang sesungguhnya. Sergei pun sebenarnya sudah memikirkan hal itu sejak awal, dia memiliki rasa takut jika kelak Marya tidak siap menerima kehidupan berumah tangga.

Ternyata menikah--dengan motivasi bahagia-- tanpa berpikir panjang dapat berujung penderitaan lahir dan batin, demikian yang hendak diceritakan pengarang. Leo menyampaikan secara akurat pesan itu tidak secara langsung, tetapi melalui step by step atau evolusi perasaan Marya yang di mulai dari berduka, jatuh cinta, kebosanan, sampai terjebak kehampaan. Membaca kisah ini, saya pikir, penulis bukan ingin mengatakan bahwa ketimpangan usia yang menjadi penyebab retaknya rumah tangga Marya dan Sergei, melainkan ketimpangan relasi di antara mereka dan perbedaan cara pandang mereka dalam memaknai rumah tanggalah yang menjadi alasan konflik besar itu terjadi.


Menjadi istri tanpa diberi peran penting di rumah, segala hal diatur oleh ibu mertua, bahkan perkara remeh temeh (memilih barang-barang atau furnitur) pun di set sedemikian rupa supaya mengikuti seleranya, belum lagi suami yang tak terlalu sibuk dengan pekerjaannya dan suka merahasiakan persoalan yang dihadapi; telah menjadi alasan kebosanan dan kebencian yang memberontak dalam diri Marya. Kondisi ini juga yang menimbulkan perasaan "tak dianggap" dan "kecemburuan" dalam hatinya. Selain itu, sang suami cenderung memposisikan dirinya sebagai lelaki yang serba tahu, tua, bijak, dan memahami segala hal sendirian serta kurang peka juga terhadap perasaan sang istri lambat laun telah melumpuhkan perasaan wanita itu. Ada satu penyakit Sergei yang sangat menjengkelkan Marya, yakni sering mengungkit kelemahan diri sendiri di hadapan sang istri. Awalnya, Marya tak mempersoalkan perkara umur mereka yang beda. Sewaktu-waktu mereka punya masalah, perkara itu seperti granat yang ditanam diam-diam. 

Entah terlalu sayang atau memang apatis, Sergei kerap mengiyakan apa pun yang diminta Marya, dan mengabaikan perasaannya sendiri sehingga terkesan ia masa bodoh dengan hidup istrinya. Padahal, seorang suami tak seharusnya menutupi insting cemburu, apalagi sampai membangun jarak pada hubungan yang susah payah dibangun. Sering kali ini terjadi di kehidupan nyata, orang gengsi mengatakan kalau sedang cemburu. Justru lebih memilih mendiamkan pasangan berhari-hari (silent treatment) atau parahnya berpura-pura baik-baik saja, padahal nantinya lama-lama pasti akan menjadi duri dalam daging. 

Rumah Tangga yang Bahagia, meskipun judulnya menegaskan soal pencarian jati diri dan visi yang sedang dikejar oleh suatu pasangan, tetapi sebetulnya lebih dari itu. Novel ini justru mempertanyakan ulang tentang definisi pernikahan bahagia. Apakah pasangan yang dewasa dan bijak cukup untuk membangun rumah tangga yang bahagia? Apakah keberadaan anak dapat menjamin kebahagiaan itu? Pentingkah kesetaraan dan kesalingan dalam relasi pernikahan? Leo Tolstoy telah mengangkat problema rumah tangga yang masih banyak terjadi hingga hari ini tanpa menambahkan bumbu cerita berlebihan dan terlalu didramatisir. Kisahnya mengalir dan tampak alamiah, saya pun sempat bingung, hampir setengah cerita, kok kehidupan sang tokoh kayak lurus-lurus saja. Namun di bab-bab ke belakang, barulah saya sadar bahwa konflik sudah bergulir sejak awal. 


Kisah ini patut dibaca bagi kamu yang berencana akan menikah atau justru sudah menikah. Rumah Tangga yang Bahagia akan mengajarkan kita tentang arti pernikahan dan mengajarkan pentingnya relasi setara dalam hubungan. Dan sebagai penutup, saya ingin mengutip perkataan Sergei.

"Tak mau kita membohongi diri sendiri. Dan jika tak ada lagi kecemasan dan kegirangan lama, marilah kita mengucap syukur untuk itu! Tak ada yang kita cari, tak ada yang mengharubiru kita." (Sergei Mikhailich)

***

Tulisan ini tayang pertama kali di blog Kompasiana.com berjudul "Ketika Rumah Tangga yang Bahagia Cuma Mimpi".

Eki Saputra
Eki Saputra (EI), pemilik hobi menulis ini lahir di Prabumulih, Sumatera Selatan. Seorang penulis lepas, penikmat karya sastra dan film pendek. Tulisannya berfokus pada isu kemanusiaan, kesetaraan gender, dan lingkungan.

Related Posts

Posting Komentar

Popular