Laporkan Penyalahgunaan

Tags

Recent Posts

Recent Comments

Nature

Facebook

Popular Posts

Anak-Anak Beruntung

Posting Komentar
Sebuah mobil sedan hitam terhenti tepat di depan lampu merah. Ia bukan satu-satunya mobil di antara kerumunan mobil dan motor yang berdesak-desakan memanjang seperti ular di pagi itu. Antrean kendaraan membludak seperti semut kerengga dan kumbang tahi yang tengah mengadakan balapan. Semua mata pengemudi terpaku pada waktu mundur di layar. Tetapi pria yang duduk di kursi penumpang baris kedua mobil sedan itu hanya diam sambil sesekali melirik arloji di pergelangan tangannya. Pukul delapan kurang lima belas menit. Biasanya lima belas menit lagi ia sudah berada di kantor. Akan tetapi, melihat mobilnya masih berada di simpang empat yang belum setengah perjalanannya, maka ia tahu betul kalau hari itu bakal terlambat. Walau demikian, ia tidak mengatakan apa-apa sejak naik dan kini bersikap tenang-tenang saja. Namun, sopir yang duduk di depannya berkali-kali mengelap keringat di dahinya, memegangi dadanya yang berdebar cepat. Matanya mengintip sesekali dari kaca mobilnya, memeriksa tampang majikannya apakah sedang marah atau tidak. Ketika majikannya balas menatap, sang sopir lekas-lekas menunjukkan ekspresi mengharap belas kasih. Dari sorot matanya ia seperti pendosa yang terus mengharapkan maaf dari pendeta.

"Kau baik-baik saja?" tanya si bos sopir yang mulai sadar diperhatikan. 

Si sopir yang gugup cepat-cepat membalas, "Tentu, Bapak. Aku baik-baik saja. Maaf, maaf, maafkan aku. Aku hanya khawatir meeting Bapak hari ini terganggu gara-gara ulahku. Ini karena kesalahan istriku! Ia tidak membangunkanku seperti biasanya."
Ilustrasi oleh Pexels.


Si bos tersenyum lemah dan berkata dengan nada lembut, "Dengar, Dika. Kau memang teledor hari ini. Saya pun tak menampik kelalaianmu. Tapi cobalah belajar meminta maaf dengan tulus. Jangan lagi melimpahkan kesalahanmu pada siapa-siapa."

"Ya, Bapak. Aku ... akulah yang bersalah dalam hal ini," kata si sopir sembari menunduk malu. "Aku berjanji belajar dari kesalahanku hari ini."

Si tuan menanggapi dengan senyuman khasnya. Dia memalingkan muka ke luar jendela. Dilihatnya di luar ada bocah lelaki berseragam putih-merah sedang dikejar seseorang berpakaian badut dan gadis kecil dengan seragam putih merah juga. Si badut berulang kali memegangi lengan si bocah, tapi berkali-kali pula pegangannya ditepis dengan kasar. Wajah bocah lelaki itu merah padam dan kucam. Ia melepas tasnya dan menuangkan segala isinya ke aspal hingga buku-buku dan alat tulis jatuh berserakkan seperti sampah yang ditebar di jalanan. Si badut bergegas mengumpulkan buku-buku dan alat tulis yang tercecer di jalan aspal. 

"Dika," ucap si tuan tiba-tiba. "Saya akan turun di sini."

"Tapi beberapa detik lagi lampu hijau, Pak."

"Kau bawa saja tas saya ke kantor dahulu. Bilang ke Windy teruskan meeting tanpa saya, suruh Wibisono menggantikan saya. Saya punya urusan mendesak."

"Apa tidak sebaiknya aku menunggu Bapak saja dulu?"

"Tidak perlu. Kau pergilah," kata si tuan lalu turun dengan cepat meninggalkan si sopir yang masih bingung. Jangan-jangan majikanku hendak memberikan pelajaran. Jangan-jangan ini tanda bahwa beliau sudah muak denganku, pikir sang sopir menerka-nerka. Ia gelisah.

Seperti yang penulis sampaikan di awal tadi. Jalanan tak lebih seperti antrean serangga menjelang balapan. Namun, begitu lampu hijau muncul, tak satu pun orang bersikap sabar untuk tidak menyalip atau tidak menekan tombol klakson bertubi-tubi seolah dengan mereka menunjukkan ketidaksabaran itu, jalanan akan terbuka lebar-lebar di depan mereka. Hari masih belum terlalu siang betul. Tetapi keadaan riuh dan mencekamnya lalu-lalang kendaraan tiada bedanya. Si badut dan gadis kecil maju-mundur kesulitan meraih buku-buku yang dilemparkan bocah pemarah tadi di jalanan lantaran tak ada pengemudi yang mengizinkan jalan mereka dihentikan. Ban-ban motor itu tanpa ampun menggilas buku-buku itu hingga jejaknya berbentuk di sampul. Separuh buku sudah nampak koyak. 

"Biar aku bantu," kata seorang lelaki berkemeja biru terang menawarkan bantuan. Lelaki paruh baya itu dengan sigap mengambil buku-buku yang dimaksud. Ia menyodorkannya pada si badut yang riasannya sudah luntur tak beraturan karena dihujani keringat dan air matanya sendiri. Terima kasih, Pak, terima kasih, betapa ini sangat berharga, ujarnya seraya meraih buku yang diserahkan kepadanya. Si lelaki menyunggingkan senyum ramah yang terlihat bersahabat. "Anda ibunya mereka?" tanya si pria penolong tak lama kemudian. 

Si badut melepaskan wig keritingnya sebelum mengangguk. Ia tak sanggup bicara karena masih menangisi buku anaknya yang sudah koyak. 

"Dia ibuku, Paman," kata si gadis kecil yang sejak tadi menonton bagaimana ibunya histeris ingin menyelamatkan buku saudaranya. "Dan itu kakakku, Anton," tunjuk si gadis lagi ke arah anak lelaki yang berdiri membelakangi mereka.

"Kau sendiri?" tanya pria penolong penasaran.

"Namaku Gita, Paman. Gita Melodi," ia memperkenalkan diri. "Kalau Paman baik hati ini siapa?"

Pria itu tersenyum kecil. Ia terkesan mendengar namanya disebut 'pria baik hati', padahal ia hanya mengambilkan buku yang terjatuh. Ia pun berjongkok agar sepantaran dengan si gadis kecil. "Baiklah gadis manis. Aku juga akan memperkenalkan diriku. Namaku Noel. Kau boleh panggil Paman Noel atau apa saja."

"Aku ingin memanggilmu Paman Malaikat? Apakah boleh?" 

"Gita, bersikap sopanlah," sela sang ibu yang sudah tak menangis lagi. Ia memperhatikan anak gadisnya yang riang mengobrol. 

"Tidak apa. Kau bebas panggil apa saja. Nah, sekarang Paman mau menemui abangmu dulu. Kau jaga ibumu di sini baik-baik." Noel berdiri lagi dan berjalan menyusul anak lelaki yang bersedekap tangan di dada sambil menendang-nendang kerikil di jalan raya. 

"Hati-hati, Anton. Kau bakal mengenai orang lain," cegah Noel seketika. Anton berhenti sejenak. Tapi tak lama kemudian mengulangi lagi perbuatannya. Sebenarnya Anton sudah menyadari akan kedatangan pria itu. Ia menyaksikan si pria membantu ibunya mengumpulkan buku-buku sekolahnya. Dia tak menyukai hal itu. Ia tak ingin ada orang yang menolong mereka. Ia ingin berhenti sekolah. 

"Bukan urusan Anda," sahut Anton tanpa menoleh sama sekali. 

"Baiklah. Aku tak akan melarangmu," ujar Noel. Kini ia berdiri di samping anak pemarah itu. Keduanya sama-sama menatap jalanan yang sibuk. Setelah lama terdiam, Noel mulai bertanya, "Kau hari ini tak mau ke sekolah?" 

"Tidak! Aku tidak mau ke sana selamanya!" sahut Anton dengan nada kesal. 

"Tapi kenapa?" 

"Anda tidak akan tahu," jawab Anton ketus. "Sebaiknya tidak perlu tahu."

Noel mengangguk tanda setuju. Ia mengeluarkan saputangan dari saku celana gelapnya. Menyerahkan itu pada Anton. "Lap keringat di wajahmu. Tak masalah jika kau tak mau memberi tahuku."

"Tidak! Tidak usah," tolak Anton sembari menggeleng, "Aku tak butuh bantuan Anda."

"Dengar, Anton. Sebenarnya hari ini aku berulang tahun. Aku ingin merayakannya. Tadi aku melihat ibumu dan tertarik memakai jasanya. Tapi ibumu tak mau bekerja denganku kalau melihatmu masih berdiri di sini."

"Aku akan pulang kalau begitu."

"Jangan! Kalau kau pulang ibumu pasti membatalkan tawaranku. Dia itu sangat mencemaskanmu. Nah, kalau kau bersedia, mau tidak kau membantuku. Ikutlah kami sementara waktu. Kau tidak usah merisaukan perihal sekolahmu. Ibumu sudah izinkan kau berlibur."

Anak lelaki itu menatap Noel tidak percaya. Ia tak percaya kalau ibunya mengizinkannya tidak datang ke sekolah. "Bagaimana dengan Gita? Apa dia ikut?"

"Tidak adil kalau hanya satu orang yang libur. Gita juga ikut."

"Aku akan ikut," balasnya pendek. 

"Terima kasih," ucap Noel. Ia kemudian berbicara dengan ibunya mereka. Anton meski malu-malu mengekor lalu menyusul Noel berjalan menuju ibunya. 

Saat ketiganya sudah berkumpul, Noel membuka ponsel genggamnya. Ia menekan tombol dengan lincah, tidak lama menunggu, sebuah taksi daring berhenti di depan mereka. Noel membukakan pintu dan mempersilakan ketiganya untuk masuk terlebih dahulu. Sementara Gita berteriak kegirangan karena diminta naik paling dulu oleh ibunya. Ibunya sendiri menyusul sembari mengkhawatirkan kotak pemutar musik miliknya ketinggalan. Itu adalah alat kerjanya. Anton naik setelah adik dan ibunya duduk. Ia masih tidak mengucapkan sepatah kata pun sejak perundingan tadi. 

Mereka tiba di depan bangunan petak menjulang yang pintunya terbuat dari kaca. Tertulis di depan gedung dengan huruf sambung "Emerald Hotel'. Gita mencoba mengejanya menjadi 'Emerah Hotel'. Noel tertawa melihat tingkahnya. Ia membantu si gadis turun dan memapah gadis itu masuk. Mereka berjalan menuju restoran tak jauh dari lobi. Tetapi seorang pramusaji mencegat mereka ketika baru saja akan duduk.

"Maaf, Pak. Apa tidak salah Anda membawa mereka ke sini?" tanya si pramusaji sambil melirik ke arah orang-orang di bawa Noel. Terutama pada perempuan berkostum badut yang nampak lusuh.

Wajah Noel kelihatan tidak suka dengan cara pelayan itu memandang orang yang sedang dibawanya. "Tidak. Mereka bersamaku. Apa kau ingin menolak kami?"

"Maaf, Pak. Tidak, tidak, bukan begitu maksud saya. Saya hanya takut kalau mereka salah tempat."

"Panggil manajermu! Katakan kalau Noel ingin bicara dengan Tyas."

Pramusaji itu rupanya bersikap penurut. Ia tidak kritis dan langsung saja pergi menemui wanita yang dimaksud. Tidak lama berselang, wanita itu datang menghampiri Noel dengan napas terengah-engah. Ia berjalan cepat diikuti oleh pramusaji yang ekspresinya tampak cemas. Padahal, sepeninggal Noel, gadis itu saat melengos pergi tadi tak kelihatan segelisah itu.  "Maafkan atas kecerobohan kami, Pak. Anda seharusnya tidak menunggu seperti ini," kata si manajer setiba di depan mereka. Ia tersenyum pahit.

"Mana Tyas?"

"Saya pikir Bapak sudah tahu. Bu Tyas sedang ada urusan bersama suaminya di Kanada. Mungkin besok baru kembali, Pak," jawab si manajer masih dengan ekspresi agak khawatir. "Saya di sini akan membantu Bapak. Silakan duduk di mana pun Bapak merasa nyaman."

"Tidak. Saya sebentar lagi mau ke meja resepsionis memesan kamar untuk tamu saya ini. Tolong layani mereka sepenuh hati. Tanyakan apa makanan yang mereka inginkan," kata Noel dengan lembut. 

"Paman Malaikat tidak lapar?" ujar Gita menyela.

"Paman ..."

"Sebaiknya Bapak di sini saja. Biar saya saja yang menyiapkan kamar. Jenny akan melayani pesanan Bapak di sini," kata sang manajer menawarkan diri. Jangan lakukan kesalahan lagi, ia berbisik kepada pramusaji bernama Jenny. Wanita itu terus meremas tangannya sendiri yang sudah mirip sebongkah salju. Memang agak kasihan kondisi wanita itu. Padahal ini bukan sepenuhnya kesalahannya. Ia bekerja di hotel itu kurang dari seminggu. Minim benar pengalamannya. Ia tak mengenal Noel jauh lebih baik daripada manajer itu. Jadi dia terlalu kritis pada tamu yang datang. Apalagi melihat orang-orang yang mengekor lelaki itu semuanya lusuh dan kumal. Seragam anak-anak itu banyak tambalan jahitan di sana-sini. Belum lagi aroma angit dan asam dari badan mereka sangat mengusik penciumannya yang tajam-tajam. Jika posisi mereka di tempat hiburan anak-anak, mungkin ia tak mau mendiskriminasi. Tetapi, sadar dengan fakta kalau Emerald adalah penginapan terbaik di kota mereka. Sementara ia sendiri hanya seorang pelayan resto di sini. Ia jelas tak mau dipecat gara-gara lalai mengawasi tamu yang berkunjung. Tamu yang bakal menganggu tamu-tamu lain. Tak disangkanya sikap kehati-hatiannya malah berujung kemarahan yang bukan main. Si manajer mengancam akan memecatnya hari ini juga jika pria yang mengaku Noel itu memutuskan pergi.

Setelah mereka menyantap hidangan, Noel keluar sebentar dari ruangan. Ia mengobrol dengan seseorang di telepon di luar. Kemudian ia masuk kembali ketika meja sudah dibereskan. 

"Nah, sekarang keluarkan buku cetak kalian," perintah Paman Malaikat tiba-tiba. Gita dan Anton tercenggang. Mereka baru saja selesai makan, tetapi kini disuruh membaca buku pelajaran. Ternyata dia berbohong, pikir Anton yang sejak awal sudah curiga dengan orang baik itu. Ujung-ujungnya aku masih disuruh belajar, ia mengeluh dalam hati. Namun ia tak berani memprotes sebab perutnya telah disogok dengan makanan-makanan lezat. Bahkan ia bersendawa keras sehabis menghabiskan piring keduanya.

Sang ibu mengelus rambut anak-anaknya seperti memberitahu mereka kalau itu perlu dilakukan sebagai bentuk terima kasih pada penderma mereka. Sejak di jalan tadi, wanita itu tak henti-hentinya menunjukkan sikap ramah dan tatapan penuh terima kasih pada Noel. Gita yang mudah diatur langsung mengikuti perintah Paman Malaikat secara bersemangat, sedang Anton agak ogah-ogahan membuka tasnya. Matanya membesar sedikit melihat kondisi bukunya yang koyak lebar sehingga sulit dibedakan antara remah kertas ataukah buku yang rusak.

"Coba mulai dari Anton," ujar Noel mengambil bukunya yang koyak itu. Ia menunjuk huruf-huruf yang masih terbaca di halaman buku itu. 

"Andi membeli kacang panjang 2 kilo, timun 1,5 kilo," Anton membaca seluruhnya dengan lancar. Lalu ia membaca satu beberapa paragraf tulisan buku itu tanpa terbata-bata. 

"Bagus! Jadi, omong-omong kau sudah kelas berapa, Ton?"

"Empat," balasnya singkat.

"Seharusnya dia kelas lima, Pak. Tapi tahun lalu suami saya sakit parah dan dia terpaksa merawatnya selama saya bekerja," sela sang ibu dengan mata berkaca-kaca. 

Noel mengangguk pelan. "Aku mengerti. Nah, Anton, berapa 8 dikali 9?"

"Tujuh dua."

"Enam dikali lima?"

"Tiga puluh."

"Coba yang agak sulit. Satu dibagi empat?"

"Nol koma dua lima."

"Cerdas! Kau cerdas ternyata ya," puji Noel dengan semringah.

Ia kini menguji Gita. Rupanya sang adik belum lancar membaca. Ia juga masih kesusahan menjumlahkan dua digit angka.

"Tak apa, Gita. Nanti belajar dengan giat ya di rumah. Minta ajari abangmu bila perlu."

"Tapi Bang Anton suka marah kalau diajak belajar, Paman."

"Begitukah? Mungkin abangmu malas belajar karena dia sudah capek belajar di sekolah."

"Tidak, Paman Malaikat. Bang Anton suka bolos. Dia sering kabur dari kelas."

"Diamlah Gita! Kau ini cerewet sekali!" cerca Anton tidak senang namanya disebut-sebut.

"Biar saja! Abang memang tukang bolos, wekk" ledek Gita. Ia mencebik ke arah saudaranya.

Noel jadi tertawa. "Ayo, jangan bertengkar. Gita ayo minta maaf Nak sama abangmu."

"Tidak, Paman. Aku tidak salah."

"Oh ya? Jadi menghina orang tidak bersalah begitu?"

Gadis itu menggigit bibir. Ia menyerah dan menjulurkan tangannya. "Iya, Gita ngaku bersalah. Bang Anton maafin Gita ya."

"Ya," balas Anton seraya menyambut tangan adiknya.

"Jadi di mana ibu akan main?" tanya Anton yang mulai tak sabar menagih ucapan Noel sebelumnya. Dari tadi matanya mencari-cari tempat perayaan acara itu. Tapi dilihatnya tak ada di mana-mana. Di sana hanya ada orang-orang berpakaian bersih dan rapi sibuk menikmati makanan mereka di meja.

Paman Malaikat menggaruk kepala. "Paman sampai lupa urusan kita. Sepertinya acara ulang tahunnya nanti-nanti saja. Sekarang ada yang lebih penting."

Si manajer hotel muncul kembali. Kali ini ia tak tergesa-gesa seperti saat pertama kali ia datang menemui mereka. Kita bisa maklum dengan kegelisahannya beberapa jam yang lalu. Dia sudah lama bekerja di hotel itu dan nyaris ia hafal siapa saja tamu-tamu besarnya. Tak terkecuali nama Noel. Mendengar nama itu saja ia langsung kalang-kabut sebab takut kesalahan-kesalahan tidak diinginkan terjadi. Tapi si pramusaji resto yang polos dan tak gesit itu membuatnya naik pitam. Sudah dikatakannya berkali-kali jangan gegabah dalam melayani tamu karena tak semua tamu berpenampilan mencolok dan menunjukkan kebesaran mereka. Beberapa di antaranya sering menyamarkan diri dan menunjukkan sikap rendah hati. Waktu ia menghampiri Pak Noel, dia langsung murka karena dilihatnya hari itu kalau penampilan si tamu wajar-wajar saja. Ia tidak menyamar. Begini adanya. Bahkan seminggu lalu pramusaji bodoh itu sudah pernah bertemu Pak Neol sekali, pikirnya geram. Masalah dengan orang yang tamunya bawa itu perihal lain. Pak Noel, begitu nama palsunya yang ia ketahui, memang datang bersama orang-orang lain. Ada yang kerabatnya. Ada pula orang asing dengan luaran yang tidak meyakinkan. Kendati demikian, sang pemilik hotel, Bu Tyas selalu  mewanti-wanti agar tak mengecewakan Pak Noel. Bila dia mau sesuatu, lakukan saja. Jangan dibantah, pesan wanita itu. Sang manajer datang diikuti seorang lelaki muda. Ia pramuhotel. 

"Eva, kenalkan ini Bu Darma yang saya bicarakan tadi. Ini dua anaknya. Yang tampan ini Anton, yang cantik ini Gita. Tolong antar Bu Darma ke kamar yang sudah pesan tadi. Ajari dia cara menggunakan elevator, dan ajak juga anak-anak bermain ke kolam renang."

"Baik, Pak Noel. Nanti Budiman yang akan menjaga mereka. Saya akan mengantar Bu Darma ke kamarnya."

"Horeee! Aku mau berenang!" teriak Gita kegirangan. Ia meloncat-loncat. Anton juga senang, tapi ia berpura-pura tak antusias. 

"Paman Malaikat tidak ikut. Apa mau pulang?" tanya Gita mendadak sedih melihat Noel bangkit dari kursinya.

"Betul, Sayang. Paman Malaikat ada keperluan. Kalian bermainlah sepuasnya di tempat ini. Tapi berjanjilah jangan nakal. Jangan merepotkan ibu kalian sama Om Budiman."

"Gita janji!" teriak Gita.

"Satu lagi, jangan melakukan perbuatan buruk. Termasuk mengambil yang bukan milik kita. Kalau kalian butuh apa-apa bilang saja pada Om Budiman, nanti dibantu olehnya. Bukan begitu, Budiman?"

"Betul, Pak. Saya di sini siap menolong," sahut si pramuhotel. Setelahnya ia kerepotan mengejar gadis kecil itu. 

***
Ketika anak-anak dititipkannya di hotel, Noel memanggil Dika agar segera menjemputnya dan mengantarnya ke sekolah swasta terbaik di kota mereka. Dika yang sudah malu sebab terlambat bangun pagi tadi kali ini tiba lebih cepat daripada biasanya. Pak Andreas Mulia Subriyer adalah manusia paling tepat waktu. Ia sangat disiplin dan tak pernah menyia-nyiakan waktunya bahkan jika itu hanya satu menit. Walau demikian, selama bertahun-tahun mendedikasikan diri sebagai sopir pribadinya, Pak Andreas belum pernah memarahinya sama sekali. Dia paling-paling akan menegur dan menyampaikan kesalahannya secara sembunyi-sembunyi. Jauh dari kata mempermalukan saking ia menjaga martabat karyawannya. Akan tetapi, bagi Dika satu teguran saja sudah cukup untuk menjadi tamparan keras baginya. Ia bukan batu yang tak tahu diri. Kadang-kadang perasaan malunya menggemuruh di kepala bila ia tak menghukum dirinya sendiri. Sang majikan sudah memperlakukan sangat baik selama ini. Bertahun-tahun ia bekerja, belum pernah ia berpikir loyal pada atasannya. Orang-orang yang ia setiri kebanyakan angkuh dan kerap memandang rendah posisinya. Mereka pun kerap tega memotong gaji untuk kesalahan-kesalahan kecil yang tak sengaja diperbuat. Tetapi Pak Andreas belum pernah mengurangi sepeser pun gajinya meski ia bukan sekali-dua kali berlaku ceroboh dan lalai. Bahkan paling fatal, mereka pernah mogok di jalan karena ia lupa memeriksa radiator, dan ia terpaksa meminta Pak Andreas naik taksi daring. Dipikirnya hari itu ia terakhir bekerja. Tetapi keesokan harinya Pak Andreas hanya bilang lain kali agar dia lebih teliti dan setelahnya tak mengungkit-ungkit lagi perihal itu. 

"Kita ke Cipta Semesta, Pak?" tanya Dika mencoba memastikan. Dia tidak paham untuk apa Pak Andreas meminta diantar ke sekolah itu. Pak Andreas tak punya pasangan. Apalagi anak. 

"Ya," balasnya begitu singkat. Kemudian lelaki itu menghela napas panjang sekali. Ia tampak gusar dan letih. 

"Dika saya mau tanya kamu sesuatu?"

"Katakan saja, Pak. Aku akan menjawab."

"Apa pandanganmu tentang saya? Apa menurutmu saya ini orang yang buruk?"

Dika terdiam sejenak. Ia bingung memulai dari mana. "Bapak itu sangat baik. Begitu baik hingga aku kesulitan menjabarkannya."

"Ah, jangan mengarang. Katakan saja dengan jujur. Saya tak akan marah."

Dika menggeleng. "Tidak, Pak. Aku berkata jujur. Bapak itu sangat baik. Bapak kaya raya, tapi mau bersikap rendah hati dan ringan tangan dalam memberi. Bapak perhatian dengan nasib orang-orang kecil. Semua orang di dunia ini berharap bisa mengenal Bapak. Andai jumlah Bapak lebih dari sepuluh, aku rasa negara ini akan melupakan sosok pemimpin. Sebab orang-orang seperti Bapak sudah cukup menggantikan mereka."

Andreas tertawa tak dibuat-buat. "Kau pandai benar memilih kata. Hampir-hampir saya merasa kau menceritakan orang lain," timpalnya.

"Aku bicara dengan jujur, Pak. Kejujuranku sungguh tak dapat menjelaskannya dengan baik, tapi itulah isi hatiku. Andai aku mengenal Bapak dari lama, mungkin aku akan menyopiri Bapak detik itu juga. Demi Tuhan, Bapak, aku pernah berpikir ingin bunuh diri. Maunya mati saja. Aku nyaris benci dengan Tuhan dan seluruh dunia ini."

"Tapi kemudian pertolongan Bapak memberiku harapan. Aku tidak tahu mengapa Tuhan menolongku setelah banyak rutukan dan ratapan dariku. Tuhan menjatuhkan malaikatnya buatku."

"Itu karena kau orang baik pula, Dika. Saya tersentuh melihat kamu memberikan makananmu pada pengemis di jalan di hari itu. Makanya saya dekati kamu dan bertanya banyak hal."

"Ya, Pak. Aku ingat kejadian hari itu. Aku baru pergi dari rumah sakit. Pusing memikirkan tagihan rumah sakit ibuku. Juga dikejar penagih utang. Istriku hampir minta pisah. Puji Tuhan Bapak datang memberikanku pekerjaan. Melunasi utang dan tagihanku."

"Anggap saja saya perantara Tuhanmu, Dika. Sebenarnya saya iri padamu. Kau dalam kesempitan hidupmu masih mempercayai eksistensi Tuhan. Saya sendiri tak bisa sepertimu."

"Kenapa, Pak?"

"Sukar diceritakan, tapi sudah lama saya lupa dengan Tuhan. Walau begitu, kau jangan seperti saya. Hidup saya amat kosong. Saya hampa dengan keyakinan saya."

"Bapak mungkin sedang memilih menjauh saja. Entah kenapa, dalam hatiku amat yakin kalau Tuhan ada dalam diri Bapak. Kalau tidak, mana mungkin Bapak murah hati menolong banyak orang."

Andreas menggeleng. Ia menatap keluar jendela mobil. "Tidak, Dika. Menolong orang lain atau berbuat baik tidaklah selalu karena seseorang dilanda ketakutan pada sesuatu. Atau iming-iming dunia setelah kematian. Saya tak punya pikiran ke sana. Alasan saya berbuat baik sederhana, yakni karena saya manusia. Saya manusia sehingga kemanusiaan ada dalam jiwa saya. 

"Kamu tahu, Dik. Papa saya sangat mencintai hartanya, Mama pun sama. Saya dididik menjadi orang yang pandai menghemat pengeluaran hingga satu rupiah pun demi kemakmuran hidup. Tapi kemudian di umur saya sepuluh tahun Papa saya meninggal dan Mama saya menikah lagi. Harta kami ludes digadaikan demi melunasi utang-utang Papa. Saya melarat. Hidup miskin tanpa harapan."

Mulut Dika menganga. Ia terperangah seolah tidak percaya jika majikannya yang konglomerat ini pernah hidup susah. Ia terbata, "Bapak ... serius?"

"Kau tak salah dengar. Saya pernah miskin. Tinggal di kolong jembatan. Memungut sisa makanan yang dibuang di kotak sampah. Hari demi hari tanpa harapan. Berpikir ingin mengakhiri saja semuanya."

Andreas tersenyum lemah.

"Lalu bagaimana Bapak bisa bangkit?"

"Sama sepertimu. Saya dipertemukan dengan orang baik. Dia menolong saya. Mengirim saya ke sekolah asrama, membiayai saya hingga lulus kuliah," cerita Andreas seraya mata beningnya berkaca-kaca. 

"Sekarang saya mesti membayar utang saya pada lelaki baik itu. Saya sudah banyak berbuat baik, tapi hati saya merasa belum cukup. Sebab saya belum melakukan hal yang sama dengan yang dia lakukan. Jadi saya mau menyekolahkan anak-anak miskin sebagai bentuk balas budi saya."

"Siapakah anak-anak beruntung itu, Pak? Apa Bapak sudah menemukan calonnya?" kata Dika penasaran. Andai belum ditemukan, ia akan merekomendasikan keponakannya.

"Sudah, Dika. Dua bersaudara yang manis. Mereka anak-anak beruntung," kata Andreas dengan air muka gembira seakan dialah yang memperoleh keberuntungan itu, melupakan segenap perannya yang menjadi alasan lahirnya kata beruntung.

"Sayang sekali, andai saja aku tahu, aku ingin menyarankan keponakanku," ucap Dika dengan nada lesu, tetapi ia tidak terlihat sedih mengetahui jawaban sang majikan. 

"Mengapa, Dika? Apa hidupnya susah? Apakah dia membutuhkan sekali bantuan?" tanya Andreas dengan air muka khawatir. Ia yang belum mengenal sama sekali keponakan sopirnya itu sontak menyiratkan sikap prihatin. Antusiasmenya dalam menolong sesama mudah diketahui oleh siapa saja bila mereka melihat bagaimana ekspresi wajahnya yang sedemikian serius dan sorot mata yang sendu itu. 

"Aku malu mengatakannya, Pak. Tapi itulah yang terjadi. Keluarganya berasal dari kelas menengah ke bawah dan hidup di kampung. Sebenarnya kalau dia sekolah di SD negeri orang tuanya masih sanggup membiayai. Namun yang jadi rintangan adalah kondisi keponakan saya ini. Dia anak autis. Mestinya belajar di sekolah luar biasa. Tapi saudaraku belum ada dana untuk memindahkannya ke SLB. Dengar-dengar SLB di sini cukup mahal ditambah lagi jarak tempuhnya yang cukup jauh dari rumah. Mau tak mau salah mereka harus tinggal di kota juga."

Kepala Andreas mengangguk-angguk mendengarkan pengakuan si sopir. Setelahnya ia diam beberapa lama. Sopir itu ikut-ikutan membisu karena ia tahu jika tuannya menghening ia tentu sedang berpikir mencarikan solusi. Lalu selang beberapa waktu, sesuai tebakan si sopir,  Andreas berkata, "Kau carikan sekolah dan kosan untuk mereka besok. Kemudian ajak mereka nanti menemui saya di rumah pukul delapan malam. Kira-kira apa bisa?"

"Bisa, bisa, Pak!" kata Dika, bersemangat, lalu ia meneruskan bicaranya, "Tapi, Pak ... bukankah itu menurutku terlalu banyak. Maksudku, tidakkah seharusnya Bapak memberikan abangku itu pekerjaan saja, dengan demikian, mereka tak mendapat pemberian secara cuma-cuma."

Kening Andreas berkerut. "Mereka keluargamu, bukan? Tidakkah kau seharusnya senang?"

"Ya, Pak. Memang benar ia saudara kandungku. Tanpa bermaksud menggurui Bapak, aku menyarankan hal tadi karena aku tahu sekali tentang abangku itu. Dia tak suka menerima bantuan orang tanpa alasan dan timbal balik. Inilah yang membuat aku kasihan gara-gara keengganannya ditolong itu membuat keluarganya kian susah. Abang saya itu pantang menerima bantuan, bahkan kalau itu sembako dari pemerintah. Ia bilang mengambil sumbangan-sumbangan itu menghilangkan harga dirinya."

"Saya mengerti," timpal Andreas yang tak terkejut mendengar cerita itu, "saya sependapat. Kalau begitu, tawarkan pada abangmu buat mengurus kebun dan berjaga di depan rumah saya. Kalau dia sudah pindah ke kota, masalah putranya tadi biar saya yang urus."

Eki Saputra
Eki Saputra (EI), pemilik hobi menulis ini lahir di Prabumulih, Sumatera Selatan. Seorang penulis lepas, penikmat karya sastra dan film pendek. Tulisannya berfokus pada isu kemanusiaan, kesetaraan gender, dan lingkungan.

Related Posts

Posting Komentar

Popular