Laporkan Penyalahgunaan

Tags

Recent Posts

Recent Comments

Nature

Facebook

Popular Posts

Dongeng Sebelum Mati (Cerita Kupu-Kupu Putih)

Dongeng Sebelum Mati


Joseph Kameradi akan mati. Aku tidak tahu tepatnya kapan, di mana, dan dengan siapa. Apakah dia dalam keadaan miskin atau kaya, baik atau jahat, tampan atau jelek. Dalam balutan pakaian atau telanjang, sendirian atau berkawan, atau mungkin, mungkin dia miskin, telanjang, dan berkawan, sedang asyik menegang lalu mati kuyu seperti ikan tongkol yang dibungkus plastik tukang sayur kesiangan. Dengar, aku tidak tahu bagaimana caranya, yang jelas Joseph akan mati, begitu pun kau, aku, kita, mereka pasti bakal mengalami mati. Tapi bukan itu masalahnya. Joseph ini, si tokoh kita yang terkenal jahanam dan tidak takut bertempur dengan apa pun di kampung halamannya, kini kutemukan dalam keadaan miris nian. Dia takut mati. Agak ironis waktu aku mengatakan Joseph yang hidupnya tak kenal takut pada apa pun di kampungnya, rupanya takut mati. Kau barangkali merasakannya juga, atau barangkali pernah kenal orang sebangsa dengan Joseph. Mereka yang bicaranya keras dan angkuh sekali, “Aku tak takut apa pun, bahkan Tuhan! Siapa yang berani menakutiku?” Kau jelas belum pernah menemukan pengungkapan segamblang itu, tapi mungkin pernah dalam ayat-ayat kitab-kitab suci yang menyebutnya sebagai bentuk kesombongan. Itulah alasan mengapa Joseph kita, tokoh yang namanya kubuat-buat ini, akhirnya memutuskan berterus terang bahwa dia takut mati. Karena Joseph menangis terus-terusan di kamar, tidak mau makan, tidak mau minum, bahkan dia pipis (tapi tidak sampai berak) di kasur, maka aku agak bingung bagaimana agar Joseph tidak kelewat takut menghadapi kematiannya. Andai bisa, aku ingin menyekolahkannya barang sebulan-dua bulan, kendati urusan ini membuatku kasihan. Jangan kalian tanya siapa aku. Bagian itu tidak penting. Aku tahu Joseph sudah lama bersikap tolol seperti ini, persis ketika emaknya menceritakan Bawang Putih dan Bawang Merah kepadanya suatu Senin di bulan Maret tahun ... (sial, aku lupa tahun berapa saat itu dia sangat bocah sekali) pukul sepuluh malam. 
Pada klimaks ibunya Bawang Putih meninggal, Joseph kecil menangis tersedu-sedu di pangkuan emaknya seperti anak kucing yang digigit ekor oleh tungau raksasa. “Mengapa orang baik selalu mati duluan?” tanya Joseph, memaksa emaknya yang mudah jengkel itu menjawab. Tapi emaknya tidak suka bicaranya dipotong tiba-tiba, ia lantas melanjutkan ceritanya dengan tega, menambah-nambahi penderitaan Bawang Putih, misalnya Bawang Putih dipaksa menguras sumur sedalam 20 meter, diperintah menghitung biji cabai dalam karung, dipaksa menanam pohon-pohon di lahan yang sudah gundul seluas seratus hektar, dipaksa mencuci tanpa deterjen dan mesin cuci serta tangan, hingga puncaknya gadis malang itu dipaksa membaca novel jelek yang sama berjuta-juta kali oleh sang ibu tiri yang jahat. Sementara Bawang Merah kerjanya hanya berleha-leha di kasur. Setiap hari bersolek di depan cermin, lalu memakai blus, gaun, atau piyama termahal berbahan sutra dari ulat yang dipaksa kerja rodi seperti Bawang Putih, lalu menggoda laki-laki di media sosial dan aplikasi kencan; seharian kerjanya bolak-balik kamar-toilet-dapur-toilet-kamar, dan mengeluhkan jaringan 4G belum stabil di kampungnya sehingga menyulitkan dia ikut kelas daring mata kuliah kalkulus lanjutan (padahal kalkulus satu saja nilainya sudah D). Ia kerjanya mengeluh, mengeluh, mengeluh, sebab iri pada Malin Kundang yang tinggal di pulau seberang, tetapi sudah kenal 5G. Malin Kundang itu pacarnya. Sejujurnya, Bawang Merah masa bodo Kalkulus dapat D bahkan Z sekalian, dia mengeluh hanya karena susah video call dengan Malin Kundang. Betapa sulitnya mengobrol bersemuka, muka dengan muka, mata dengan mata, jidat dengan jidat lawan bicara. “Di saat Bawang Merah uring-uringan, dia kerap memaksa ibunya membelikan ponsel keluaran terbaru sekaligus kuota tanpa batas (Demi Tuhan! Itu pasti dari uang hasil Bawang Putih kerja menjadi biduan keliling di kampung). Siapa kira-kira yang akan jadi pelampiasan gadis pemalas itu?” tanya emak Joseph seketika. Akan tetapi, Joseph bungkam, memasang muka merengut, karena masih kesal pertanyaannya sendiri belum dijawab sejak tadi. Perempuan pendongeng itu bertanya ulang dengan suara agak keras, “Jadi, siapa?” Matanya bagai elang menindas buruan, memaksa mangsanya itu mengucapkan kata-kata terakhir. Joseph mencebik. Sembari memencet tahi lalat di belakang kuping emaknya—dulu waktu masih menetek dia suka melakukan itu—Joseph dengan setengah hati menjawab malas, “Bawang Putih yang ibunya mati diracun. Mengapa orang baik selalu mati duluan?” (Selanjutnya biarkan aku memanggil anak ini J saja, kau boleh panggil dia apa pun, asal jangan namamu, kurasa itu agak memalukan). 
Perempuan itu sekarang bersikap tenang. Ia lega karena pertanyaannya sudah dijawab dan, kali ini, ia nampak tidak tertarik kepada pertanyaan J. Ia bengong menatap televisi di depannya yang tertulis: “Cerita ini bukanlah kisah nyata. Kesamaan cerita, tokoh, atau muka hanya kebetulan belaka,” lalu layar bekedip dan menampilkan teks besar: “Episode 3589”. Perempuan itu berdoa semoga malam ini adalah episode terakhir sinetron bajingan itu, dan semoga nasib si pemeran utamanya berakhir bahagia. J menggerutu karena pertanyaannya tak kunjung dijawab. Lama-lama ia jadi tergoda ikut-ikutan menonton televisi. Sinetron itu menampilkan seorang mertua bermoncong tebal dan merah mencolok, kontras dengan senyum getir dan mata becek menantunya, kemudian si mertua bergumam dalam hati: “Sial, aku tidak ingin memiliki menantu miskin seperti dia.” Lalu mertua bermoncong besar itu menyambut menantunya dengan raut muka sombong, tetapi memaksakan diri bermuka manis yang sebetulnya kentara sekali. Si menantu didesain dungu dan polos mengulurkan tangan, tetapi tak disambut sedikit pun. Ia mengabaikan bibir merah besar itu tampak komat-kamit dan tersenyum sinis membayangkan rencana jahatnya dan si menantu yang miskin berkata dalam hati: “Tidak apa, suatu hari Mama bakal menerimaku walaupun aku miskin.” Sang suami yang diceritakan pengusaha sukses, tidak tahu bisnis apa, mungkin properti atau penjahit sempak, atau properti penjahit sempak, tidak jelas, tidak penting (gila! aku mengulang-ulang kata tidak dari tadi) mengira emaknya itu kelak akan merestui mereka. Dia belum tahu kalau di balik layar si emak merencanakan hal-hal buruk yang sedemikian terangnya bisa diusut polisi. Tapi, sungguh kebetulan polisi kurang gercap, kurang berfaedah di sini persis di dunia nyata. Sinetron itu rupanya telah mengaduk-aduk emosi emak J dan perasaan ini terbawa-bawa sampai esok hari. Tatkala ia sedang mengaduk-aduk kopi di dapur. Di tengah-tengah uap kopi meruap di penjuru petak kecil, wanita itu jadi terkenang bagaimana mertuanya hampir sekeji mertua bermoncong besar itu. Nenek J, memang tak mempunyai moncong babi, satu hal yang khas hanyalah keompongannya dan perkara rewelnya bagai radio macet setiap hari. Ditambah, nenek picik itu sungguh merepotkan. Bagaimana tidak, uang penghasilan bapak J masih dipegang beliau, sedangkan nenek peyot itu tamak dan kikir, sehingga cuma perkara membuat kopi, emak J harus menguji nyali membobol lemari dapur yang digembok tiga lapis. Namun, pernah suatu hari, seperti Hansel dan Gretel yang kedapatan mencolong cokelat dan manisan di rumah penyihir, demikianlah wanita itu tertangkap basah sedang menyeduh kopi menggunakan gula yang seharusnya terikat sempurna dalam plastik setengah kilo di dalam lemari. Bayangkan bagaimana rupa nenek pemarah itu mendapati gulanya terbuka, tercecer butir-butirnya, terendam sia-sia di sekitar kulacino gelas keramik itu. Mulutnya sontak terperangah laksana buaya lapar; memperlihatkan kengerian tunggul-tunggul giginya yang dulunya pernah tumbuh sempurna di situ, dan kini tersisa kekosongan, kehampaan, kebinasaan, sebagaimana isi hati perempuan itu yang hambar dan gemar mengisap semangat kehidupan orang. Kejadian itu memantik ingatan si mertua bahwa dari dulu ia tak sedetik pun merasa puas memiliki menantu gemuk dan tidak cantik seperti Desi Rasasari. Meskipun beliau, konon, tidak pernah tahu seperti apa rupa Desi Rasasari (ia tahu nama itu dari racauan suaminya yang cabul), tapi yang jelas, ia bisa melihat bahwa seorang Desi Rasasari mustahil mencolong gulanya tepat di depan mata-hidung-mulut-kepalanya sendiri. Adegan pagi itu akhirnya ditutup dengan lolongan dan ratapan memilukan seorang mertua yang menyesal bermenantu besar majuh, berkelakuan bandit, dan boros serta tidak mirip Desi Rasasari. Nenek J yang tak bisa menyebut kata r itu lalu mengumpat dengan sadis, “Ketelaluan kau Malyati! Olang miskin macam kau memang tak tahu adat! Kau tega maling di lumah meltuamu sendili. Aku malu punya menantu macam kau!” Kenangan itu membuat emaknya J benci minum kopi dan setiap selesai mengaduk kopi dia selalu membuangnya kembali ke wastafel. Tanpa henti. Bahkan ketika mertua ompong dan suami lemah akal itu telah lama mati. Dia belum juga memaafkan dirinya yang hina dina mencuri kopi. Kini, tiga malam sejak dongeng itu, ia sadar, ia terlalu hanyut pada kisah sinetron hingga otaknya selalu mengulang-ulang pengalaman menyedihkan itu. Dijauhkannya jemari yang sedari tadi sibuk memencet-mencet tahi lalat kupingnya. Disingkirkannya sebentar anak lelakinya itu dari pangkunya. Ia bangkit mengambil remote dan mematikan televisi tepat ketika sang mertua berbibir besar akan menaruh segera racun ke dalam kopi menantunya. Dengan menyembunyikan raut muka kesedihannya, perempuan itu mengusap kepala J, “Tidak, Nak. Kau salah. Semua orang cepat atau lambat pasti akan mati. Orang jahat pasti mati. Orang baik pasti mati.” Malam ini ia akhirnya menemukan jawaban sederhana atas kebimbangan putranya. Tetapi J sangat tidak gembira mendengar jawaban itu, sebab induknya telah mengabaikan kata "duluan" yang jadi pokok perhatiannya, tentang perkara urutan (entah hari, jam, sekon kematian), mengapa orang jahat mati belakangan dan orang baik selalu dibuat mati duluan dalam dongeng. Di situlah letak masalah utamanya, pikir J. Bocah tak tahu diri itu dengan sembrono memotong ucapan ibunya, mengulangi pertanyaan yang sama seolah dia burung beo yang baru belajar berkata-kata, “Kemarin aku bertanya, mengapa duluan, Mak? Mengapa yang baik duluan mati? Mengapa duluan,” dan wanita itu sekilas menatap putranya jengkel karena dicerca pertanyaan bodoh. Ia mengalihkan pandangan, mendengus kesal seperti banteng yang bersiap-siap menyeruduk matador mengibar-ibarkan sarung merah di depan mukanya, tapi perasaan itu ia tekan lantaran ia tahu betapa polosnya J. Dielusnya dengan lembut rambut keriting putra semata wayangnya itu, “J, kita tidak tahu orang baik dan orang jahat hanya karena melihat satu dua kejadian. Mungkin, mungkin ...,” wanita itu menggaruk ketombe yang berserakkan di kepalanya, “mungkin semua itu karma buat ibu Bawang Putih yang semasa gadis pernah berbuat jahat. Dia mungkin bekas seorang pelacur yang merebut tunangan orang. Mungkin, mungkin juga ibu Bawang Putih seandainya tidak mati menjadi mertua yang jahat. Atau jangan-jangan sengaja bapak Bawang Putih meracunnya. Asal kautahu saja tabiat laki-laki. Tidak usahlah jauh-jauh! Kau cukup lihat bapakmu, sebelum mati dia tega kawin dengan janda lain, lalu ia meninggalkan kita dan mewariskan rumah jelek peninggalan emaknya ini.” J belum mengerti, dia tidak puas. Bocah tujuh tahun itu berkata dengan polos, “Tapi, Emak tidak mati seperti ibu Bawang Putih dan Mama Leyli tidak punya anak seperti Bawang Merah, Meira justru anak baik hati dan lucu. Jadi, siapakah yang jahat?” Namun, pertanyaan itu tidak digubris lagi tatkala J mengetahui bahwa ibunya sudah nyenyak bersandar di kasur. Pada saat itu, aku menyelinap, datang dalam bentuk kupu-kupu putih, menemui J, aku menjawab pertanyaannya itu, “Emakmu.” Aku tertawa terbahak-bahak selepas mengatakan itu. Tiada yang akan menangkap nyaring tawaku. J yang sejak tadi melamun kemudian tergoda melihatku terbang berkitar-kitar di dekat kepala emaknya. Aku mendarat, bertengger di atas hidung emak J yang kembang kempis. Aku memamerkan sayapku yang lebar. Pada saat itu, J kecil, mengamatiku lamat-lamat, kurasa dia mulai menyadari sekiranya ada aku yang memata-matainya selama ini. Tatkala ia berjingkat-jingkat hendak menyergapku menggunakan toples, aku terbang melesat, meninggalkan anak kecil itu secepat kilat. Peristiwa terjadi itu empat puluh tahun yang lalu, saat J masih bodoh dan banyak tanya. Kini, emak J sudah lama menjadi tulang lapuk tak berguna. Selepas malam dongeng itu, dia ditemukan tergolek mati di bak mandi berdarah-darah. Satu hal yang J ingat adalah sebilah pisau menancap di perut ibunya. Polisi yang datang keesokan harinya mengabarkan bahwa emak J bunuh diri. “Sebab ibumu depresi,” kata Meira, ia mencuri dengar dari Mama Leyli. Peristiwa traumatis itu kelak membuat J merasa berdosa kepada emaknya karena ia terlalu nyenyak tertidur. Hari itu, sejak petang ia bermalas-malasan, sampai-sampai tak mampu menyelamatkan nyawa emaknya, walau dalam hati kecil J dia masih bersyukur karena dengan begitu emaknya sudah resmi menjadi orang baik. Tetapi, ia kemudian menaruh curiga pada Meira. Disangkanya suatu hari anak itu akan menjelma menjadi Bawang Merah. Dia takut jika itu terjadi, maka ia akan dipaksa Mama Leyli menguras sumur sedalam 20 meter, diperintah menghitung biji cabai dalam karung, dipaksa menanam pohon-pohon di lahan yang sudah gundul seluas seratus hektar, dipaksa mencuci tanpa deterjen dan mesin cuci dan tangan, dan dipaksa membaca novel jelek yang sama berjuta-juta kali. Itu menjadi fantasi yang menakutinya hingga ia paranoid.
Bayangan itu kerap membangunkan dia di tengah malam atau pagi buta sehingga matanya membengkak dan sayu, sementara tubuhnya makin kurus dan kelihatan kuyu. Mama Leyli sebenarnya berusaha berkali-kali mencoba menghibur J dengan mengajak berbicara, tapi J terlampau sangsi pada mereka. Mama Leyli juga berusaha memperlakukannya sama seperti Meira. Bila Meira dibelikan es krim, maka J juga. Bila Meira dibelanjakan boneka, J juga. Meira ingin ke taman, pasar, mall, kebun binatang, kolam renang, maka J diikutkan. Sayangnya, Mama Leyli tidak tahu kalau J tidak menyukai es krim, boneka, apalagi berjalan-jalan, seperti halnya dia tidak suka mereka. Ditumpuk perasaan muak, takut, benci, dan curiga. Dia lalu menelepon keluarga emaknya dan mengarang-ngarang cerita bodoh kepada paman-bibi sebelah emaknya itu, bahwa Mama Leyli tidak baik dan sering pilih kasih, bahwa sejak Mama Leyli tinggal di rumahnya, ia sering dipukul dan dicubiti (ia memperparah sendiri lebam dan luka jatuh dari sepeda), bahwa Mama Leyli hendak mencekiknya diam-diam sama seperti ia menghabisi emaknya (ia bahkan menolak menyebut penyebab kematian emaknya dulu karena depresi, tapi sekali lagi karena direncanakan oleh Mama Leyli), dan paling parah ia membocorkan rahasia tergelap Mama Leyli. Dalam tempo dua hari ia membuat wanita itu didepak dari rumah suaminya tanpa belas kasih, padahal ia pindah ke sana demi ingin merawat J yang hidup sebatang kara. J baru menyadari kesalahannya setelah menyaksikan bagaimana hari itu Meira menangis-nangis melihat ibunya dipukuli dan dipermalukan di hadapan banyak orang. Tapi tak ada yang menolong mereka. J berdiri menahan kakinya gemetar dan derap jantungnya hampir meledak. Ia menahan matanya agar tak sampai menangis terisak-isak. Semenjak itu, J dititip-titipkan pada tetangga yang hidup sebatang kara. Namun hanya setahun orang itu peduli kasih padanya, selebihnya J kerap menahan haus dan lapar bagaikan anjing peliharaan yang diabaikan karena penyakitan. Panggilan demi panggilan ke sanak saudaranya tak lagi digubris. Ia bisa makan satu biskuit sehari atau puasa dua hari tanpa sahur dan berbuka. Sebelum akhirnya dia ditaruh di Panti Asuhan Abadi Sukawijaya. Pengalaman hidup yang pahit itu telah menjadikannya tergila-gila pada obsesi menjadi orang baik. Bertahun-tahun ia mulai mencari cara agar dirinya layak dianggap orang baik, setidak-tidaknya mampu terlihat seperti orang baik, tetapi sampai kapanpun dia tidak cukup layak menjadi murni orang baik karena syarat orang baik adalah orang yang lemah dan ditindas. J kuat dan berkuasa. Pria berkumis tebal itu tidak segan mematahkan tangan anak buahnya kalau mereka tidak mampu memaksa pedagang membayar pajak harian di wilayah kekuasaannya. Dia berkali-kali membutakan mata anjing hanya karena tidak menurut saat dipanggil. J meniduri banyak perempuan-perempuan jalang secara cuma-cuma (kalau tidak mau ia sanggup memerkosa mereka) dan dia pernah punya kesenangan aneh, yakni memaksa lelaki baik-baik agar meniduri perempuan-perempuan jalang. Meskipun kemudian J meninggalkan semua kebiasaan, pekerjaan, dan tabiat jeleknya itu, bersungguh-sungguh menjadi orang baik berkat motivasi istrinya. Tapi, tetap saja, hingga detik ini ia belum pantas disebut orang baik, karena ia tahu bahwa masih ada syarat kedua untuk menjadi orang baik: mati duluan. Sialnya, dia jelas sekali akan mati belakangan. Pasalnya, selepas pertobatan itu, kehidupannya yang hampir sempurna tiba-tiba luluh lantak dalam semalam. Tragedi memilukan sekali lagi harus ia alami. Pada sore Jumat Pahing di pengujung Desember, di hari perdebatan itu terjadi, J menyaksikan bininya bermain serong dengan rekan sekantornya, membuat J begitu kesetanan. Dengan perasaan remuk redam, ia mengamuk-amuk di rumahnya. Ide gila kemudian terlintas di pikirannya. Ia ingin mengajak keluarganya jalan-jalan ke puncak lalu menjatuhkan mobil ke jurang. Maka dengan begitu, dia dan keluarganya mati bersama-sama, lalu mereka menjadi tokoh baik dalam cerita versi mereka. Singkatnya, J putus asa. Ia berubah sinting dikendalikan setan. Dan setan itu telah lama bersemayam dalam jiwa kanak-kanaknya yang memang durhaka. Akan tetapi, malang tak dapat ditolak, kutuk tak mampu direnggut, dia dikaruniai Tuhan seribu nyawa, nyawa untuk tetap hidup sebagai orang jahat. Malam itu, di tengah perjalanan, perdebatan sengit antara ia dan Lalana terjadi, Lalana menolak mengakui perselingkuhannya dengan Mondi, atasannya yang lajang dan berperut buncit itu. “Lagi pula, jika benar aku ingin berselingkuh, apa urusanmu? Aku yang menghidupmu mulutmu dan anak kita selama ini, kau itu suami tak berguna, pengangguran, mantan preman, pria sialan!” sentak Lalana seraya matanya bercucuran air asin. Kata-kata itu membikin J pedih. Ia berang. Ia frustasi kemudian menabrakkan mobilnya ke pohon kihujan di jalanan membelah kota yang ramai. Mereka tidak mati pada awalnya, Lalana masih kuat beringsut keluar dari mobil sembari memeluk putranya, Johandi, yang berdarah-darah. Disumpah-sumpahinya J karena membuat ia dan putranya celaka. Pertengkaran tidak berhenti sampai di situ. J menyusul Lalana, ia kemudian menampar pipi Lalana. Istrinya yang lemah itu pun berjalan terhuyung-huyung namun terus memapah Johandi pergi. Ada beberapa orang yang menyaksikan peristiwa bakda isya itu, tapi tidak mendengar apa yang diucapkan mereka berdua. Yang mereka tonton hanyalah Lalana sedang berjalan terseok-seok seperti ulat daun daun, lalu mendadak tertubruk dan tergilas ban bus hingga mati seketika bersama Johandi, putra hasil persetubuhannya rahasianya dengan Mondi. Hanya kurang dari lima detik setelah tamparan J luar biasa serius itu, mereka lumat di kolong bus. J divonis hukuman lima belas tahun penjara dan selama sisa umurnya, ia berleha-leha makan dan tidur tanpa susah payah bekerja. Tiga tahun bebas dari kurungan, ia mengeluhkan kepalanya yang sering sakit-sakitan. Lelaki itu kini hidup sebagai kuli angkut dan kernet mobil pengepul barang bekas. Pernah kala sedang memindahkan kardus-kardus ke dalam mobil, ia terjatuh dari pick up. Sopir yang terus-terusan mencemaskan kalau pekerjaan mereka menjadi lambat, akhirnya mengambil keputusan memecat kernetnya itu. Membuat J resmi menganggur dan jadi gelandangan kota. Dalam kondisi yang demikian sulit, J terpaksa mengambil sembarang pekerjaan, tapi selalu gagal, gagal, dan gagal. Tujuh hari tujuh malam dia menahan lapar dahaga hanya dengan makan biskuit yang dicicilnya sedikit demi sedikit (kembali ke nasibnya selepas emaknya wafat). Saat itu, aku menduga J akan segera mati, tugasku mengawasinya selesai, namun siapa sangka ada seorang gadis berbadan gembrot, pendek, bermuka jebab, jerawat di sana-sini, yang jelas tidak ada sisi menarik dari fitur mukanya, kecuali tahi lalat di belakang daun kuping, persis seperti emaknya J, datang menyelamatkannya. Si gadis kemudian memungut lelaki gelandangan itu dan membiarkan lelaki itu menjadi pengurus bedeng tiga pintu miliknya. Tidak butuh waktu lama, J dan si gadis menjadi akrab layaknya ayah dan anak. Si gadis kebetulan tidak punya keluarga yang baik. Ayahnya, pria yang mewariskannya bedeng itu, sudah lama mati. Ia hanya memiliki ibu pembenci yang keras kepala, jadi ia tidak pernah mendapatkan pengalaman anak-anak seumurannya. Maka J mencurahkan kasih sayang tulus seolah-olah gadis itu anaknya yang telah mati belasan tahun silam (maksudku Johandi, putra hubungan gelapnya Lalana dan Mondi). Dia berpikir bahwa gadis itu adalah kesempatan buatnya menjadi orang baik. Maka J berjanji akan mengorbankan jiwa raganya demi kehidupan gadis itu. Hingga suatu malam Minggu Legi, hujan begitu deras, J mondar-mandir di teras bedeng mengkhawatirkan nasib si gadis yang belum pulang, padahal biasanya ia pulang sebelum matahari berbaring. Rumah gadis itu berada di sebelah bedeng, jadi mudah bagi J untuk mengetahui bilamana penghuninya sudah kembali. Pukul sepuluh malam, gadis itu tak kunjung terlihat kepalanya. J berjalan kaki menahan cemas yang menguasai dirinya. Ia menebak-nebak di mana si gadis berada di malam selarut ini. Dalam keadaan kuyup dan kedinginan, ia mendatangi kampus tempat J kuliah. “Beli kalender lain kali. Tidak kau lihat ini hari apa?” bentak kesal satpam yang marah karena dibangunkan tidur. Alangkah kagetnya J, sepengingatnya gadis itu berpamitan menghadiri perkuliahan. Mungkinkah ada perkuliahan yang dilakukan di luar wilayah kampus? J berbaik sangka. Ia pulang dan menunggu. Ia menunggu dua hari, tiga hari, seminggu, dua minggu, sampai sebulan pun gadis itu hilang kabarnya. J mendatangi kantor polisi, dengan cemas dan rasa takut meledak-ledak melaporkan peristiwa hari itu, tetapi dia dikira sinting oleh sang polisi, sebab tidak pernah ada seorang gadis yang tinggal di tempat yang dimaksud. Lagi pula, J mengisi kamar rumah kosong yang sering dianggap angker lantaran ada seorang perempuan bunuh diri dengan cara menusuk perutnya sendiri di sana. J pun merasa gila. Ia tidak percaya kalau gadis itu tidak ada, maka ia memaksa para polisi itu ke sana, memeriksa sendiri bahwa ada bedeng tiga pintu dan rumah seorang gadis di situ. Para polisi setuju, dengan catatan, jika J berbohong, mereka akan memenjarakan J karena membuat laporan palsu. Setibanya di tempat itu, para polisi kaget karena bedeng itu dan rumah yang dimaksud benar-benar ada. J mengantarkan polisi ke rumah sang gadis, ternyata seorang wanita paruh baya sudah berada di sana, sekonyong-konyongnya wanita itu memukul dan meninju muka J, di hadapan polisi ia mengumpat: “Bajingan laknat! Kau yang memperkosa putriku!” J terperanjat. Dia bahkan tidak tahu di mana si gadis berada, mana bisa ia memerkosa orang yang tidak ada. Kedua mata polisi memandang J dengan tatapan jijik sekaligus ingin merajam. Tapi J membantah tudingan itu. Dia bersumpah ia tak mengerti apa yang wanita asing itu katakan. Lantas gadis itu keluar dari kamar sembari menangis-nangis, ia menunjukkan lengannya terluka di hadapan para polisi, yang membuat para polisi cepat-cepat memborgol tangan J. Ia pun diangkut dengan mobil tanpa sempat menjelaskan yang terjadi. Namun, setelah dua belas tahun ditahan, J kembali dibebaskan oleh polisi. “Tidak ada alasan bagi kami untuk menahan orang jahat berlama-lama,” jelas si polisi. J tiba-tiba ia diangkut dan dibuang begitu saja di jalanan. Mayat-mayat bergelimpangan di mana-mana. Lalat dan langau mengerubuni bangkai manusia. Aroma busuk semerbak tercium. Dilihatnya satu per satu mayat-mayat terbengkalai itu, wajah emaknya, wajah Mama Leyli, wajah Meira, wajah Lalana, wajah Johandi, wajah wanita tua yang tidak dikenal, wajah lelaki tak dikenal, wajah gadis penolongnya tapi menjebaknya, lalu ia menyadari di sana ada wajah polisi-polisi yang mengangkutnya tadi. Pendek kata, semua muka yang pernah ia lihat ada di situ, kecuali wajahnya. Dalam keadaan yang mengenaskan itu, J meratapi kemalangannya, dia menangis-nangis di gurun bertumpuk-tumpuk mayat manusia: Kenapa orang baik matinya duluan? Kenapa aku tidak mati duluan? Kemudian J terbangun. Ia sadar bermimpi buruk. Kali kedua aku datang lagi dalam wujud kupu-kupu putih menjenguknya yang sedang terjaga. Aku hinggap di atas telinganya sambil berbisik menjawab pertanyaan dalam mimpinya yang belum tuntas: "Sebab kau pura-pura tidur di malam kematian ibumu, padahal kau menyaksikan dia menancapkan pisau tajam itu di perutnya. Sebab kau pura-pura tidak tahu orang tua tirimu melacur demi menghidupi kau dan adik tirimu seperti yang pernah emakmu lakukan. Sebab kau sengaja mendorong Lalana hingga ia tersungkur dan tergilas ban bus di jalanan bersama putranya. Sebab kau jahat! Mari rayakan kejahatanmu. Hiduplah dengan menderita. Hadapi nerakamu!" Joseph Kameradi akan mati. Aku tidak tahu tepatnya kapan, di mana, dan dengan siapa. Tapi, yang kau perlu tahu bahwa Joseph itu adalah aku sebelum menjadi kupu-kupu putih.
Eki Saputra
Eki Saputra (EI), pemilik hobi menulis ini lahir di Prabumulih, Sumatera Selatan. Seorang penulis lepas, penikmat karya sastra dan film pendek. Tulisannya berfokus pada isu kemanusiaan, kesetaraan gender, dan lingkungan.

Related Posts

Posting Komentar

Popular