Laporkan Penyalahgunaan

Tags

Recent Posts

Recent Comments

Nature

Facebook

Popular Posts

Memahami Derita Jadi Orang Jelek

 

ilustrasi: Frankeinsten (sumber: merinding.com)

"Dengan bertambahnya pengetahuanku, aku semakin sadar bahwa aku adalah mahluk yang terbuang. Aku memelihara harapan, memang, tapi harapan itu sirna manakala aku menatap pantulan ragaku di permukaan air, atau melihat bayang-bayangku di bawah sinar rembulan, sungguhpun yang ada hanyalah gambaran buram dan temaram."

(Frankenstein, Marry Shelley: 179)

Di dunia ini harus kita akui, kehidupan tidak selalu memberikan keadilan dalam versi makhluk di dalamnya. Sebagaimana diciptakan orang-orang dengan fisik sempurna, maka diciptakan pula mahluk lawan dari kesempurnaan itu sendiri.

Akal yang bijak tentu menolak pernyataan ini, karena menurutnya baik dan buruknya seseorang tidak dapat dinilai dari wajah. Tidak salah berpikir demikian, tetapi jangan tutup mata bahwa penilaian terhadap fisik masih banyak terjadi.

Dua ratus tahun yang lalu seorang perempuan asal London pernah menulis kisah yang mewakili penderitaan mahluk terjelek di dunia.

Marry Shelley dalam karya fenomenalnya berjudul Frankeinsten: The Modern Prometheus (1818) telah melahirkan sosok monster mengerikan yang dikenang oleh semua orang. Monster yang tak bernama ini bahkan lebih terkenal dibandingkan nama sang penciptanya, Victor Frankeinsten.

Novel ini bercerita tentang ilmuwan Swiss yang berambisi menciptakan manusia buatannya sendiri. Dengan menyatukan potongan-potongan tubuh mayat, kemudian ia menghidupkan makhluk itu. Nahasnya, ia malah menciptakan sosok monster berwajah menakutkan, yang ia sendiri bahkan tak tahan untuk melihatnya.

Monster malang ini kemudian mengembara, mempelajari dunia manusia, memahami bahasa, dan cinta. Satu-satunya hal yang ingin ia miliki adalah diterima keberadaannya dalam lingkungan manusia.

Sayangnya, justru penolakan, hinaan, dan penderitaanlah yang selalu ia dapatkan. Oleh sebab itu, ia pun merencanakan pembalasan dendam pada sang penciptanya.

"Benarkah manusia berkuasa, berbudi, dan hebat, sekaligus sangat bengis dan keji? Terkadang manusia berbuat dzalim, tetapi di lain waktu mereka bersikap sangat mulia dan luhur." (Hal. 162)

Memahami 'iblis', sapaan yang sering digunakan oleh Victor kepada monster ciptaannya, sungguh sangat menyiksa pembacanya. Di satu sisi kita akan membenci sosok ini karena melakukan pembunuhan keji pada keluarga sang penciptanya, di sisi lain rasa sedih, iba, dan sakit pun muncul sewaktu ia membagikan pengalaman hidupnya di tengah manusia.

Jadi orang jelek pasti akan menderita. Premis yang dibawa oleh penulis begitu sederhana dan akan selalu relevan sampai kapanpun. Tampaknya Marry masih terlalu halus mewakilkan sosok jelek sebagai seorang monster.

Sebetulnya dua ratus tahun yang lalu, ia sudah memahami problematika yang akan selalu ada pada diri manusia, yaitu mengenai rasa tidak aman (insecure). Manusia akan selalu takut berhadapan dengan kelemahan dan kekurangannya di hadapan orang lain.

Insecurity terjadi saat seseorang merasa malu, tidak mampu, dan penuh kekurangan. Semakin seseorang merasa insecure, maka ia cenderung akan hidup dalam ketakutan. 

Salah satu alasan seseorang merasa tidak aman yaitu karena kurangnya percaya diri akibat pengalaman buruk di masa lalu. Rasa tidak aman ini bila dibiarkan akan membuat seseorang menjadi iri dan cemburu pada orang lain, dan berubah menjadi pembenci. Bukankah monster dalam kisah tersebut memiliki kondisi yang sama?

Socrates dalam dialognya dengan Euthyphro (The Last Days of Socrates-Plato) berkata bahwa rasa malu selalu diikuti rasa takut, bukan sebaliknya. Seperti halnya orang yang malu pada fisiknya yang buruk rupa, maka ia akan takut dihina dan disakiti lantaran fisik pula.

Dunia memang sudah lama memperlakukan orang-orang jelek dengan tidak adil. Jelek dalam artian fisik, maupun versi tidak ideal yang manusia agung-agungkan. Kita terlalu hipokrit bila mengatakan standar jelek atau bagus itu relatif.

Bila memang relatif, tidak mungkin adanya dongeng 'Si Cantik dan Si Buruk Rupa' , tidak mungkin munculnya produk-produk kecantikkan dengan embel-embel supaya kita tidak tampak tua dan jelek, atau layanan mengubah fisik lewat operasi.

Orang jelek juga kerap mendapatkan diskriminasi. Contoh kecilnya saat seorang jelek melakukan kejahatan, maka mereka akan mendapatkan cercaan yang kasar dan sadis.

Sebaliknya, apabila yang melakukan kejahatan adalah sosok tampan atau cantik, maka orang-orang akan menyayangkan kejadian itu. Padahal sama-sama kriminal lho.

Menjadi orang jelek artinya siap menderita. Satu-satunya agar tidak menderita yaitu mengubah penampilan sebaik mungkin atau menghapus standar yang orang lain bangun.

Seandainya di dunia ini orang-orang puas akan fisiknya sendiri, tanpa perlu insecure dan menganut standar yang ada, maka niscaya akan banyak perusahaan kosmetik bangkrut.

Tidak akan ada kisah orang-orang berselingkuh karena wajah pasangannya yang jelek, tidak akan ada sosok putri-putri negeri dongeng yang digambarkan oleh wajah-wajah yang serupa, dan tidak akan ada istilah orang jelek di dunia.

Andaikan juga Marry hidup di abad sekarang ini, mungkin ia tidak akan pernah menulis kisah itu. Dia pasti berpikir bahwa si monster hanya perlu mencuri uang sebanyak-banyaknya, lalu mencari dokter bedah plastik paling ahli untuk menambal jahitan di muka sang monster dan bimsalabim berubahlah jadi tampan.

Masalahnya selesai, bukan?


***

Artikel ini pertama kali tayang di Kompasiana dengan judul "Memahami Derita jadi Orang Jelek".

Eki Saputra
Eki Saputra (EI), pemilik hobi menulis ini lahir di Prabumulih, Sumatera Selatan. Seorang penulis lepas, penikmat karya sastra dan film pendek. Tulisannya berfokus pada isu kemanusiaan, kesetaraan gender, dan lingkungan.

Related Posts

Posting Komentar

Popular