Laporkan Penyalahgunaan

Tags

Recent Posts

Recent Comments

Nature

Facebook

Popular Posts

Ingkar

Pada musim hujan di bulan Oktober, angin berhembus deras menampar-nampar jendela di depan sebuah rumah bercat putih di ujung jalan yang sempit. Tiupan yang diikuti serangan rintik yang mula-mula amat halus, tetapi dengan cepat berganti menjadi butir-butir sebesar kacang polong. Mereka menyebar dan menyerang rumput kering dan tanah gersang, menebarkan aroma tanah basah yang menenangkan bagi siapa saja yang membauinya. Angin itu bertiup makin kencang. Kemudian beterbangan bebas dan buas menghantam ke setiap penjuru halaman rumah itu. Tumpukan sampah gelas mineral plastik, kertas dipenuhi coretan tidak jelas, dan dedaunan kering yang semula sudah ditumpuk di atas arang dan tanah legam bekas pembakaran, kini semuanya berterbangan seolah ingin memisahkan diri satu sama lain. Terpencar ke mana-mana akibat desakan angin. Berantakan.


Si pemilik rumah berjalan keluar dengan langkah lamban dan agak terhuyung membukakan pintu rumahnya, lalu berdiri sejenak di teras. Mungkin hendak mengecek keadaan luar. Ia menggaruk kepalanya secara serampangan, sesudah itu mulai menguap berkali-kali, menyedot petrikor seolah-olah bakal mengenyangkan perutnya tanpa perlu mengunyah sepiring nasi. Dia mendongak. Di atas sana tampak gelap dan kalut sebab mendung makin leluasa merayap dan menguasai cakrawala.

Melihat perempuan berdaster batik di seberang rumahnya yang pontang-panting menyeret keranjang berisi pakaian, tiba-tiba muncul senyum liar di wajah lelaki itu. Sudah terlambat untuk mengangkat jemuran, barangkali, pikirnya. Tetapi tidak ada yang bisa memastikan isi pikirannya (bahkan aku). Senyum sinis itu menghilang bersama pijar kilat. Lelaki itu lantas menguap sekali lagi, melirik sebentar anjing legam yang meringkuk kedinginan di bawah kursi plastik. Anjing legam itu memandangi muka tuannya khawatir. Tatapannya mengiba seperti mengharapkan pemiliknya memberikan izin masuk ke dalam rumahnya, setidaknya hingga hujan mereda. Sebab kini rinai halus tadi telah berganti menjadi serbuan air dahsyat. Tetapi pemuda itu melengos pergi, tak menghiraukan sama sekali tatapan si anjing malang.

Di dalam kamarnya lelaki itu menguap panjang. Lebih panjang dan nyaring daripada klakson kereta api. Bahkan kucing garong yang sedang asyik mencolong ikan goreng di dapur seketika terlompat ketakutan mendengar lolongan menyeramkan itu. Si pemuda mengabaikan si kucing dan sibuk merenggangkan tubuhnya asal-asalan seraya menghitung satu sampai delapan.  

Setelah lemas, ia meninggalkan kamar pengapnya dan menyusul suara televisi di ruang tengah. Pria dengan setelan necis dan rambut klimis tengah memejamkan mata, lalu membeku di layar. Sinyal gangguan, begitu teks tertera di sana. Ia mengambil ponselnya tergeletak kaku di meja kaca. Beberapa menit ia membolak-balik obrolan lawas. Nol notifikasi. Dia menekan ikon aplikasi, kuotanya masih utuh. 

Tiba-tiba sinyal penerima digital kembali memunculkan garis-garis naik turun. Pria berjas hitam dan bergigi putih yang seharusnya menyelesaikan pembacaan berita buruk hari ini raib dalam hitungan detik. Yang ada di televisi hanya wanita paruh baya yang mengeluh sebab akhir-akhir ini cuciannya sulit dibersihkan. Noda membandel mesti dilawan, kata lelaki aneh yang entah datang dari mana macam siluman, membikin si wanita dalam promosi terlonjak. Itu berlangsung kurang dari semenit, setelahnya gantian seorang model cantik yang merekam dirinya mandi sambil memamerkan ketiaknya dibilas busa sabun. Selanjutnya tayangan itu berubah jadi adegan pria ugal-ugalan memamerkan motor yang dia tunggangi. Blip. Pemuda itu menekan tombol "off" di remote sebelum bangkit berdiri dari kursi dan pergi menuju jendela. Tak lama kemudian ia sudah masuk lagi ke dalam kamar.

Sebelumnya tak ada yang tahu isi kepala pria pemalas itu, termasuk aku yang awalnya menulis kisah ini. Kita berharap menemukan sesegera mungkin letak masalahnya agar lelaki itu bisa menghidupkan kisah ini dan menjadikannya cerita yang berguna. Kabar buruknya, aku tak tahu isi kepala pemuda itu karena selama lima bulan terakhir, kerjanya cuma mondar-mandir dari teras ke ruang depan, ruang depan ke kamar, kamar tidur ke kamar mandi. Ia tak mengurus pasal anjingnya yang kerap kelaparan, ia tak membersihkan kamarnya. Dalam sehari ia bisa makan berkali-kali, atau kali lain dia tak menyentuh sedikit pun isi tudung saji.

Tapi kali ini kita bakal segera mendapatkan jawabannya. Seorang perempuan berpakaian kuyup mengetuk pintu rumah si pemuda buru-buru. Rambutnya kusut bak serabut jagung. Di tangan kanan, ia menjinjing keranjang berisi sayur-mayur. Ia duduk menggigil di kursi rotan di teras rumah itu dan mulai menggosok-gosokkan telapak tangannya yang sewarna langsat. Udara dingin serasa mengoyak kulitnya.

Anjing hitam yang meringkuk di bawah kursi mendadak keluar sebentar mengendus dan menjilat kaki perempuan itu. Makhluk itu menatap lekat-lekat tamu tuannya dengan pandangan penuh rasa penasaran sebelum akhirnya kembali meringkuk seperti semula. Tak lama kemudian si pemuda datang membukakan pintu. Ia tertegun begitu menemukan tamunya. Ditengoknya agak lama perempuan itu. Lalu sorot matanya yang tajam berpindah cepat ke arah keranjang yang tergeletak di meja plastik di sebelah kursi wanita itu duduki. 

"Kau mau bertemu Ibu?" tanya pemuda itu dengan nada tidak acuh. Ia bicara tanpa memandang wajah tamunya. "Maaf, ibuku sedang tidak ada di rumah."

"Bukan," wanita itu menggeleng, membuat bulir air menetes dari ujung-ujung rambutnya, menjatuhi baju kaus putihnya yang transparan. "Aku ke sini ingin menemuimu."

Pemuda itu terkesiap. Ia memandang segera seakan tidak percaya. Lalu mendesah keras dan memalingkan muka ke arah sisi teras yang tak memuat tubuh perempuan itu. Diamatinya dua anthurium di pot yang gelisah terkena tiupan angin. Daun kuping gajah yang jarang-jarang melambai-lambai bergantian dengan daun tanaman gelombang cinta seolah-olah memperingatkannya betapa bahayanya berurusan dengan perempuan ini.

"Pulanglah!" Pemuda bermuka kuyu itu berbalik dan hendak masuk kembali ke dalam, "Ibuku tidak memesan sayur." Tangannya langsung menarik knop pintu. Tetapi gadis itu bangkit dan langsung menariknya dari luar. Pintu pun kembali terbuka. Kini, mereka jadi berdiri saling berhadapan dan bertatapan. Mata bening wanita itu seketika berbinar menatap bola mata si pemuda yang sendu.

"Tunggu! Aku belum selesai bicara. Ada yang mau kusampaikan padamu."

"Bicara? Membicarakan apa? Kita tidak punya hubungan apa-apa lagi sekarang," tukasnya sengit. Tatapannya garang seolah memancarkan panah kebencian yang siap menusuk dada musuh. Cupid pun tewas seandainya ia bertugas di situ. 

"Maukah kamu memaafkanku?" kata wanita itu dengan lembut. Suaranya terdengar begitu mengiba. "Aku minta maaf atas yang sudah kamu alami."

"Apa? Gila!" Si pemuda tertawa sangat keras. Tawa yang getir dan dalam. Disusul bunyi gemuruh guruh lambat dari jauh. Setelah dia tersedak ludahnya, ia melanjutkan bicaranya, "Gila! Apa sebegitu pentingnya maaf dari orang sepertiku? Tolonglah, kau tidak perlu membuat-buat alasan untuk datang menemuiku. Aku sudah bertekad melupakanmu."

"Kalau begitu, tolong hiduplah dengan baik. Kejarlah impianmu seperti dulu. Jangan seperti ini." Kali ini perempuan itu tak dapat membendung lagi air matanya. Ia tersedu di hadapan si pemuda. Air matanya membajir mengalahkan deraian hujan di luar teras.

"Kata siapa aku tidak mengejar impianku? Percaya diri sekali bicaramu! Aku baik-baik saja. Kau tak perlu urus! Urusi saja jabang bayimu itu!"

"Aku tahu dari ibumu kalau kemarin kau kena DO."

"Sial!" umpat pemuda itu. Ia berjalan ke langkan teras dan menyembunyikan mukanya dari tatapan kasihan wanita berkaus putih itu. "Apa pedulimu dengan impianku? Mengapa kau repot-repot mengurus hidupku? Bukankah memang ini yang kau inginkan terjadi padaku? Kau senang melihatku gagal, kan? Tangismu itu palsu. Aku tahu. Kau bahagia sejak kawin dengan Doni bajingan."

"Aku terima kau mau bilang apa pun tentangku. Aku memang salah. Aku tidak menyangkal kesalahanku. Tapi kau keliru kalau tangisanku ini palsu. Aku datang ke sini karena aku sangat peduli padamu. Aku tidak mau kau hancur hanya karena orang sepertiku. Kau berhak hidup lebih baik. Cukup aku saja menderita. Kau jangan."

"Menderita? Kaupikir aku ini sebodoh yang kau kira? Kau puas menikmati perkawinan kalian itu. Bukannya kau senang kawin dengan Doni keparat? Alah! Mana ada namanya perjodohan di tahun begini. Aku sangat tahu, pasti sudah sejak lama kau merencanakan pengkhianatan itu. Kau berpura-pura mendukungku menamatkan sarjana, sementara di dusun kau berpacaran dengan pria sialan itu. Lalu saat aku pulang, inilah kado yang kau berikan. Kau rupanya hamil anak lelaki menjijikkan itu."

Wanita itu tidak sanggup menyahut. Tangisannya kian deras mengalahkan derai hujan. 

Pemuda itu berbalik menghadap ke arah tamunya. Napasnya terengah. Ia bicara lagi, "Sekarang lagakmu seolah peduli dengan mimpiku? Apa kau belum puas merusak hidupku?"

"Maaf. Aku benar-benar minta maaf," wanita itu menunduk. Air matanya terus membanjir di pipi.

"Maaf?" teriaknya sambil terbahak-bahak, namun terdengar dibuat-buat. "Kau bilang maaf? Setelah setengah tahun berlalu, kau baru ingat hari ini mengatakan maaf. Ke mana saja kau enam bulan yang lalu, hah?"

"Maaf ... aku dulu tak punya keberanian menemuimu. Saat itu aku menghindari gunjingan orang-orang terhadapmu, terhadap kita. Aku tak ingin membuatmu semakin sakit hati."

"Bodoh! Pemikiran yang sangat bodoh!" sergahnya. Ia hampir menunjuk wajah wanita itu, tetapi telunjuknya akhirnya ia jatuhkan sendiri. Ia menyeka keringat di dahinya. Kepalanya pening ditumpuki amarah. Matanya pedih sekali bagaikan dilumuri bawang. "Kau bodoh! Aku sungguh tak pernah peduli kata orang lain. Aku bahkan sampai detik ini masih peduli padamu. Ya! Kau mau dengar bahwa aku selama setahun memikirkanmu saat kau ... tak pernah sedetik pun memikirkanku. Kau menghindariku selama ini. "

"Bahkan jika pernikahan itu benar kemauanmu, aku ikhlas selagi kau yang mengucapkannya sendiri. Aku berharap kau datang menemuiku dan memintaku agar mau melupakanmu. Tapi tidak! Kau sengaja menggantungkan perasaanku. Kau biarkan aku menderita dan tertekan karena dikhianati tanpa alasan. Kau berlagak seperti korban. Padahal, akulah seharusnya korban di sini!"

"Bukan begitu yang sebenarnya terjadi ... aku menghindar karena ..."

"Karena apa?" potong si pemuda, "Kau bilang tadi tak akan menyangkal lagi. Kau bilang mengakui kesalahanmu."

Ia menghela napasnya. "Sudah kuduga. Beginilah watakmu yang sesungguhnya. Kau itu tidak pernah bisa dipercaya. Omonganmu tak bisa dipegang. Aku menyesal kenal orang sepertimu, bahkan tiap detik yang aku lalui denganmu. Aku berharap kau hilang selama-lamanya dari hadapanku. Demi Tuhan! Kalau kau mati, aku tak akan menginjakkan kakiku ke kuburanmu. Kau pegang kata-kataku itu. Aku bersumpah melupakanmu selama-lamanya."

Entah terluka mendengar sumpah yang diikrarkan mantan kekasihnya atau puas  sebab ia akan segera terbebas dari rasa bersalah yang menderanya, wanita itu bergulut lari menembus tebalnya hujan.

Sebelum melangkah pergi, ia berkata dengan suara bergetar dan pedih pada si pemuda, "Demi Tuhan selamanya aku menyayangimu."

Namun, kata-kata itu bagaikan angin yang tak ada gunanya lagi bagi hati yang terserang badai. Si pemuda mengunci kedua bibir dan membiarkan hujan menelan kalimat terakhir si wanita bulat-bulat. 

***

Pada musim hujan bulan Desember, saat musim banjir belum berlalu pergi. Namun, matahari menjelang tengah hari bersinar angkuh di antara sela-sela dahan-dahan gandaria dan nangka, serta pohon-pohon tak bernama. Helai cahaya jatuh menembus ke tanah tepi sebuah kuburan. Ada seseorang duduk di atas kijing  yang semennya masih terang namun memucat itu. Belum ada lumut menempel seperti halnya kijing-kijing di sekitar pekuburan, menandakan ia masih baru. Lelaki berkemeja putih menyiramkan air bunga dan selasih ke atas pusara sembari bibirnya komat-kamit membacakan sesuatu.

Ia terduduk lesu seraya menangis. "Sampai hati kamu memilih jalan ini. Kamu ingin aku tersiksa setiap detik, setiap menit, menyesali segala yang terjadi. Andai hari itu kamu tahu, tanpa kamu minta, aku pasti memaafkanmu," katanya terisak. "Apakah pengorbananmu pantas untuk lelaki macam aku?"

Seekor burung kecil entah dari mana tahu-tahu bertengger dan berkicau lirih di atas cabang gandaria seolah-olah ia menyahuti si pemuda. Pemuda itu tersenyum getir. Ia bangkit dan mencium nisan sebelum benar-benar melangkah meninggalkan pekuburan. Sementara si burung kecil terbang ringan seperti kapas. Pindah dari satu ke dahan lainnya. Kemudian melenyap di antara rimbunnya helai-helai dedaunan yang lebat.
Eki Saputra
Eki Saputra (EI), pemilik hobi menulis ini lahir di Prabumulih, Sumatera Selatan. Seorang penulis lepas, penikmat karya sastra dan film pendek. Tulisannya berfokus pada isu kemanusiaan, kesetaraan gender, dan lingkungan.

Related Posts

Posting Komentar

Popular